Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa

Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa
oleh Diana Mayasari

Abstrak

Aplikasi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa adalah berbagai aplikasi sosiolinguistik terhadap pengajaran bahasa sebagai manifestasi sosiolinguistik dalam bidang linguistik pendidikan. Sosiolinguistik sebagai bagian dari linguistik makro tidak hanya membahas aspek-aspek yang sempit, namun juga berbagai aspek yang luas, seperti variasi bahasa interferensi sebagai bentuk penyimpangan bahasa, dan etnografi komunikasi sebagai wujud masyarakat yang beraneka budaya. Bahan di dalam pengajaran  bahasa juga ditentukan oleh sosiolinguistik. Tulisan ini akan mengulas mengenai kontribusi sosiolinguistik dalam penyediaan bahan pengajaran bahasa dari sudut pandang sosiolinguistik dan penentuan variasi bahasa (termasuk pronomina persona) yang digunakan di sekolah, penentuan interferensi yang muncul pada komunikasi pembelajar sebagai suatu bentuk kesalahan bahasa, etnografi komunikasi dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing (BIPA), dan

Kata kunci: sosiolinguistik, pengajaran bahasa, variasi bahasa, interferensi, etnogtafi komunikasi, dan bahan pengajaran bahasa.

  1. A.    Pendahuluan

Bahasa dapat diartikan sebagai alat komunikasi, sarana untuk mengekspresikan diri, dan merupakan bagian yang erat dari budaya serta nilai-nilai masyarakat penuturnya, yakni masyarakat bahasa (Blomfield, 1995: 40). Masyarakat yang ada disekitar kita bukanlah masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat heterogen yang terdiri atas berbagai agama, budaya, suku, etnis, ras dan pendidikan. Heterogenitas tersebut mengakibatkan munculnya fenomena bahasa yang telah diteliti oleh para ilmuwan dan melahirkan cabang-cabang ilmu bahasa seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, antropolinguistik, dan sebagainya. Sosiolinguistik sebagai bagian dari linguistik makro telah banyak diteliti oleh para ahlinya. Lalu apa sajakah temuan penelitian sosiolinguistik tersebut? Adakah hubungan dengan pengajaran bahasa?

Parera (1986: 9) mengemukakan bahwa penelitian bahasa dapat dipergunakan untuk mempersiapkan materi pengajaran, memperbarui metode mengajar, menambah pengetahuan tentang bahasa, dan melakukan analisis evaluasi tentang pengajaran bahasa. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tujuan penelitian bahasa di Indonesia dapat diarahkan kepada dua sasaran, yakni untuk kepentingan ilmu pengetahuan bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan pengajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, temuan-temuan sosiolinguistik juga memiliki dua implikasi tersebut selain menambah teori-teori tentang bahasa juga memberikan kontribusi bagi pengajaran bahasa.

Tulisan ini akan menelaah dua implikasi tersebut dalam pengajaran bahasa dengan tujuan (1) untuk mengetahui aplikasi hasil penelitian sosiolinguistik terhadap pengajaran bahasa, meliputi penyusunan bahan pengajaran bahasa melalui kerangka kurikulum dan (2) sumbangan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa dalam menyikapi fenomena-fenomena yang muncul seperti variasi bahasa, interferensi dan etnografi komunikasi pada budaya pembelajar. Spolsky (2008: 606) menyarankan pada guru agar mempersiapkan dengan baik materi (conten) yang hendak disampaikan dengan penelaahan bahasa yang digunakan oleh pembelajar sehingga guru dapat memanfaat bahasa sebagai media dalam pembelajaran melalui tiga lensa berpikir, mengajar dan menilai secara lingustik agar hasil pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Dari tiga lensa tersebut yang hendak diulas lebih jauh adalah berpikir secara linguistik dan mengajar secara linguistik sesuai dengan tujuan penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pengajaran bahasa merupakan bagian dari linguistik terapan (applied linguistic). Kaitan sosiolinguistik dengan pengajaran bahasa, yakni keduanya merupakan bagian dari linguitik terapan. Sosiolinguistik sebagai pondasi pendidikan bahasa tidak hanya melakukan kajian dari struktur intern saja melainkan telaah dari struktur ekstern. Struktur ekstern disini dikaitkan dengan aplikasi sosiolinguistik dalam mengatasi masalah-masalah dalam dunia pendidikan, seperti penentuan variasi bahasa yang ada dalam penggunan pronomina persona oleh pembelajar, interferensi yang muncul dalam pengajaran bahasa, etnografi komunikasi yang ada di Bahasa Indonesia untuk Pengguna Bahasa Asing (BIPA) dan kontribusi sosiolinguistik dalam perancangan bahan materi pengajaran.

B. Dasar Teoretik

1. Sekilas Mengenai Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan pondasi linguistik pendidikan yang terdiri atas variasi bahasa, interaksi dengan menggunakan berbagai bahasa, adanya gender, etnisitas, dan jaringan sosial sebagai dasar penggunaan bahasa yang beragam, masyarakat multilingual dan munculnya kontak bahasa (Spolsky, 2008:66-76). Selain itu sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (1998: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup. Dittmar (1976: 128; Chaer dan Agustina, 2010: 5) mengemukakan  tujuh dimensi sosiolinguistik yang telah dirumuskan pada tahun 1964, di University of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik. Berikut uraian dari ketujuh dimensi tersebut.

  1. Identitas sosial dari penutur.
  2. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
  3. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.
  4. Analisis singkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial.
  5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran.
  6. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
  7. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

2. Variasi bahasa, Interferensi dan etnografi komunikasi.

Keberadaan manusia dalam masyarakat sangat beragam baik agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, usia dan sebagainya. Disamping itu dalam menjalin kehidupan manusia membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kepentingannya. Berdasarkan pernyataan tersbeut maka bahasa akan mempunyai variasi-variasi sesuai kelompok penuturnya. Kekhususan dalam masing-masing kelompok  ditandai oleh penggunaan variasi bahasa yang digunakan pemakainya dalam berinteraksi (Kartomiharjo, 1988: 4). Variasi dalam masing-masing kelompok ini dikenal dengan istilah ragam bahasa atau variasi bahasa. Selain itu Chaer dan Agustina (2010:70-72) membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya yang terdiri atas ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai dan ragam akrab.

Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendirtoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).

Etnografi komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel, 2003: 3) bahwa studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana komunikasi lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek budaya lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.

  1. S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan,  Scene mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal.
  2. P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima.
  3. E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil.
  4. A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
  5. K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan
  6. I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs vernakular).
  7. N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan.
  8. G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.

3.  Pengajaran bahasa

Brown (2007:8-9)  menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan metode dan teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Parera (1986: 11) yang menjelaskan kebijakan pengajaran bahasa melalui bagan berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan:

M= metode dan variabel-variabel bahan

T= variabel guru (apa yang dibuat oleh guru)

I= variabel instruksi (apa yang diperoleh pelajar)

S= variabel sosiokultural (apa dan bagaimana sikap lingkungan)

L= variabel pembelajar (apa yang dilakukan oleh pelajar)

 

 

 

 

 

 

Setelah kebijakan bahasa dibuat, maka langkah selanjutnya adalah mendesain kurikulum bahasa. Machalister, (2010: 3) mengemukakan bagan desain kurikulum bahasa sebagai berikut.

 

 

 

Berdasarkan model tersebut aplikasi sosiolinguistik nampak pada tahap-tahap sebagai berikut.

  1.  Menentukan content dan sequent. Hal ini meliputi istilah-istilah linguistik, ide-ide, skill, teks, bahan dan strategi. Pada tahap ini memanfaatkan hasil analisis kebutuhan, untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan peserta didik dalam dunia nyata.
  2. Format dan penyajian, meliputi teknik dan prosedur dalam pembelajaran untuk membantu pembelajar termasuk di dalamnya terdapat metode, strategi dan teknik. Pada bagian ini harus memperhatikan kondisi peserta didik atau yang dikenal dengan analisis situasi, yakni bagaimana lingkungan peserta didik, bagaimana bahasa, budaya dan karakter peserta didik.

 

 

 

 

 

 

 

 C. Pembahasan

Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa

A. Peran sosiolinguistik dalam menentukan conten (bahan, materi) dan sequent (urut-urutan penyampaian).

Machalister (2010: 26) penentuan teks dalam pengembangan kurikulum bahasa memiliki kaitan erat dengan analisis kebutuhan seperti terlihat dalam bagan berikut.

Berdasarkan bagan tersebut sosiolinguistik berperan penting dalam penentuan teks yang akan digunakan dalam pembelajaran, yakni dalam rangka pemilihan teks harus sesuai dengan bahasa yang sudah familiar dengan kelas yang akan kita ajarkan. Selain itu Spolsky, (2008: 608) mengemukakan bahwa dalam kelas yang multilingual seperti pengajaran bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing (BIPA) guru harus ‘berpikir dan bertindak secara linguistik’. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, metode dan teknik. Misalnya tentor BIPA akan memberikan materi tentang perkenalan dalam forum resmi. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontekstual, metode audiovisual dan audiolingual dengan memutarkan cotoh percakapan perkenalan yang kontekstual melalui LCD (audiovisual) dan siswa diminta untuk praktik berpasangan (teknik kelompok) dengan menirunya berulang-ulang (audiolingual).

Kontribusi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa dapat dilihat melalui aplikasi linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa. Parera (1989:11-13) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa sebagai berikut.

Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Secara tidak langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan isyarat bahwa teori struktural dan sosiolinguisrik merupakan bagian dari lingusitik yang menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan pengajaran bahasa. Aplikasi tahap pertama ini terlihat dalam bagan berikut.

 

pengujian

  

Umpan balik                                                                memberi

 

 

 

Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan isi silabus. Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun mengajarkan bahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini kita akan melakukan desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Kriteria pemilihan bahan pembelajaran bisa bermacam-macam pandangan Misalnya saja, manfaat bagi pembelajar, apa yang diperlukan pembelajar dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan bahasa yang akan dipelajarinya, perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa yang akan dipelajarinya, kesulitan apa yang dihadapi oleh pembelajar bahasa asing pada umumnya, variasi dialek perbandingan interlingual, dan perbedaan antara dua bahasa, seperti antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan bahasa Arab dan sebagainya (Richards, 2001: 51-89). Pemilihan bahan ini sangat erat sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing, seluk-beluk variasi dialek, perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa. Aplikasi tahapan kedua ini tergambar dalam bagan berikut.

 

diterapkan

 

 

Umpan balik                                                                memberi

 

 

 

 

Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran (materi yang dimasukkan silabus) yang nanti juga menentukan alat, bahan dan sumber pembelajaran dan pendekatan proses (teknik presentasi) seperti pendekatan kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif, koordinatif dan lain sebagainya dalam belajar mengajar. Gambaran aplikasi ketiga bisa dilihat dalam bagan berikut.

 

 

diterapkan

 

 

 

 

 

 

  1. B.     Aplikasi sosiolinguistik dalam penggunaan variasi bahasa termasuk (pronomina persona) interferensi, dan etnografi komunikasi.

Parera (1986: 1) mengemukakan bahwa linguistik mengajarakan teori-teori penganalisisan dan pendeskripsian bahasa sebagai satu objek studi yang mengajarkan komponen-komponen kebahasaan dan teknik-teknik pendeskripsian bahasa. Dalam sosiolinguistik mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi khususnya dalam pengajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Fishman (1967: 15; Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu dengan memperhatikan, “ who speak, what language, to whom, when, and to what end”.

Dalam pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman dalam berinteraksi, yakni mengetahui siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama guru atau kepala sekolah, bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa tersebut digunakan karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru. Ada pula pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi formal atau nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu akan berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya tujuan untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik dalam interaksi pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.

Aplikasi berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi bahasa yang digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249) yang menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.

Persona

Makna

Tunggal

Jamak

Netral

Eksklusif

Inklusif

Pertama Saya, aku, aku, ku-,-ku   Kami Kita
Kedua Engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu Kalian, kamu, sekalian, anda, sekalian    
Ketiga Ia, dia, beliau, -nya mereka    

 

Tabel  tersebut cukup jelas, namun bagi pembelajar bahasa Indonesia tahap pemula (BIPA) tanpa bantuan penjelasan sosiolinguistik mengenai kaidah sosial pengunaan pronomina persona tersebut pengguna bahasa akan kesulitan. Bagaimana kaidah sosial penggunaan kata ganti tersebut?  Kepada siapa? Kapan dan dimana kata ganti tersebut harus dipakai? Sosiolinguistik menjelaskan penggunaan pronomina tersebut dengan mengklasifikasikan variasi bahasa berdasarkan umur, pendidikan, tingkat keformalan, topik dan jalur pembicaraan dengan klasifikasi tersebut pengguna bahasa akan dengan mudah menggunakan masing-masing pronomina persona. Penelitian mengenai pronomina telah dilakukan oleh Feni Munifatulloh (2003), dalam tesis yang berjudul Pronomina dan acuan persona dalam Bahasa Indonesia di STKIP PGRI Jombang Kajian Sosiolinguistik. hasil penelitian tersebut masing-masing penggunaan pronomina dan acuan persona dipengaruhi oleh faktor usia dan hubungan antar penutur sebagai faktor paling kuat dalam penggunaan pronomina dan acuan persona, sedangkan faktor pendidikan mempengaruhi penggunaan pronomina dan acuan persona kedua saja. Penulis sering menemui penggunaan pronomina acuan persona tersebut kurang tepat, seperti penyebutan saya dalam konteks bicara dengan situasi santai, penggunaan kata kami dan kita yang kurang tepat dalam diskusi formal.

Interferensi merupakan kesalahan bahasa yang sering muncul dalam pengajaran bahasa baik terjadi dalam komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Penelitian mengenai interferensi telah dilakukan oleh Khusnul hafido dengan judul Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia Dalam Karya Tulis Kelas VIII Mts Negeri Keras Diwek Jombang. Hasil penelitian ini menyebutkan banyak kalimat-kalimat yang terinterferensi bahasa Jawa, seperti berikut.

Hari ini saya datang kesekolah pagi sendiri è hari ini saya datang ke sekolah paling pagi

Kata sendiri tersebut terinterferensi dari kalimat bahasa Jawa yang berbunyi dino iki aku teko ning sekolah isuk dheweinterferensi paling banyak ditemui oleh peneliti tersebut. Selain interferensi dalam komunikasi tulis penulis juga sering menemui interferensi dalam bentuk lisan seperti dalam pembuka presentasi seorang presentor mengucapkan “pada kesempatan ini saya akan memperkenalkan masing-masing anggota kelompok, yang kanan sendiri saya adalah Devi, ” kata sendiri tersebut merupakan interferensi dari bahasa Jawa sebagai berikut “dhewe”. Dengan, demikian interferensi merupakan salah satu penyimpangan bahasa yang sering dilakukan oleh para peserta didik kita. Hal ini dikarenakan bahasa pertama peserta didik adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Sehingga masalah ini sesuai dengan teori, bahwa interferensi terjadi pada dwibahasawan seperti yang terjadi dalam ulasan tersebut.

Pada etnografi komunikasi sosiolinguistik dibutuhkan untuk mengetahui dialek atau cara berbicara masyarakat kelas menengah kulit putih, kelas pekerja kulit putih, dan kelas pekerja kulit hitam yang memiliki perbedaan. Hal ini dikarenakan proses pengajaran verbalisasi dan literalisai yang telah dibiasakan oleh orang tua mereka. Melalui sosiolinguistik akan diketahui masing-masing dialek tersebut dan bagaimana menyikapi para peserta didik yang berasal dari kelas putih mupun dari kelas kulit hitam (Spolsky, 2008: 76). Menyikapi fenomena tersebut Dell hymes dalam teorinya mengenai etnografi komunikasi dapat diaplikasikan guru dalam interaksi belajar mengajar. Komponen tutur ini sangat berguna sebagai landasan dalam melaksanakan pengajaran bahasa Indonesia bagi pengguna bahasa asing (BIPA). Hal ini dikarenakan pembelajar BIPA terdiri atas bahasa, budaya, kebiasaan, dan sikap yang beraneka ragam. Dengan mengaplikasikan komponen tutur Dell Hymes tersebut maka pelaksanaan pembelajaran akan mencapai kompetensi yang diajarkan dengan menentukan pendekatan, metode, dan teknik yang tepat melalui analisis komponen tutur tersebut.

  1. C.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas kontribusi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa memiliki nilai praktis yang cukup signifikan terutama dalam memberikan informasi tentang hakekat bahasa dan pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan konteks kemasyarakatan, kondisi sosial pembelajar bahasa, mengenai apa yang diajarkan, pembuatan silabus, dan kegiatan pembelajaran bahasa, serta kontribusi sosiolinguistik dalam penentuan variasi bahasa dalam pengajaran, pronomina persona, penentuan kesalahan bahasa yang disebabkan interferensi dan penentuan metode yang tepat bagi BIPA melalui komponen tutur Dell Hymes. Oleh karena itu, tenaga pendidik, disarankan memahami kajian teori lingustik terutama ilmu-ilmu murni dan linguistik terapan khususnya sosiolinguistik mengingat bahwa bahasa tidak bisa lepas dari gejala dan fenomena sosial yang ada dalam hal pendidikan seperti tingkat sosial bahasa pada siswa yang beragam, lingkungan sekitar pembelajar, budaya pembelajaran dan pemerolehan bahasa siswa sebagai penyebab interferensi. Dengan demikian sosiolinguistik sebagai pondasi dari linguistik pendidikan tercermin melalui kajian aplikasi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. Dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga .Jakarta: Balai Pustaka.

Bloomfield, Leonard. 1995. Language (Diindonesiakan oleh I. Sutikno). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Brown. Douglas. 2007: Prinsip Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hafido, Khusnul. 2012. Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia Dalam Karya Tulis Kelas Viii Mts Negeri Keras Diwek Jombang. Perpustakaan STKIP PGRI Jombang. Tidak diterbitkan.

Kartomiharjo, Suseno, 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Bangsa. Jakarta: P2LPTK

Macalister, J.( 2010). Language Curriculum Design. New York: Roudledge.

Munifatulloh, Feni. 2003. Pronomina dan Acuan Persona dalam Bahasa Indonesia:: Kajian Sosiolinguistik. Perpustakaan STKIP PGRI JOMBANG tidak diterbitkan.

Paulstom, Christina Bratt and Tucker. G. Richard. 2003. Sosiolinguistics. Blackwell Publishing.

Parera, Jis Daniel. 1986. Linguistik Edukasional : Pendekatan Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Richards, J.C.(2002). Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Spolsky, Bernard. 2010. Sosiolinguistics. New York: Oxford University Press.

Spolsky, Bernard. dan Francais M. Hult. (2008). The Hanbook Of Educational Linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.

Pos ini dipublikasikan di Sosiolinguistik, Sosiolinguistik dan Pengajaran Bahasa. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar