Rancangan Analisis Fenomena Bahasa

Sekilas tentang Fenomena Bahasa

Berbicara mengenai fenomena maka banyak sekali fenomena yang muncul di sekitar kehidupan kita. Jika fenomena tersebut diamati, ditelaah, dianalisis untuk mencari jawaban atas fenomena yanag ada maka kegiatan tersebut akan mengarah pada sebuah penelitian. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Selinger dan Shohamy (1989: 6) yang menyatakan bahwa kita melaksanakan penelitian untuk mencari jawaban pertanyaan mengenai peristiwa atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehai-hari. Berkaitan dengan fenomena tersebut bahasa merupakan bagian yang erat dalam kehidupan kita, yang memiliki ciri dinamis sebagai salah satu sebab munculnya berbagai fenomena yang unik, sehingga penelitian mengenai bahasa dibutuhkan untuk menganalisis berbagai fenomena bahasa tersebut. Dengan alasan tersebut, penulis memberi judul sekilas tentang fenomena bahasa pada wacana ini yang di dalamnya terdapat ulasan singkat mengenai apa itu penelitian bahasa, subjek dan objek penelitian, peranan penelitian bahasa dalam pengembangan cabang-cabang ilmu bahasa, dan sekilas rancangan analisis fenomena bahasa beserta segi kemanfaatan dari analisis fenomena bahasa tersebut.

Selinger dan Shohamy  menyatakan bahwa penelitian ilmiah dapat dikatakan dengan konsep terorganisir, terstruktur, metodis, sistematis, teruji oleh diciplined inquiry (1989: 10). Definisi tersebut memiliki kaitan dengan pengertian penelitian bahasa, yakni penelitian yang sistemis, terkontrol, empiris, dan kritis terhadap objek sasaran yang berupa bunyi tutur (Mahsun, 2012: 2), selain itu Djajasudarma (2010: 4) menyatakan bahwa penelitian bahasa bertujuan mengumpulkan dan mengkaji data, serta mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan. Berdasarkan pendapat tersebut maka penulis berpendapat penelitian bahasa merupakan penelitian yang sistematis, terkontrol (terorganisir dan terstruktur), metodis, empiris, dan kritis dengan  tujuan mengumpukan dan mengkaji objek penelitian berupa fenomena kebahasaan.

Berbagai penelitian baik itu penelitian apapun pasti tidak lepas dari istilah subjek dan objek penelitian. Apakah subjek dan objek penelitian? Atau siapakah subjek dan objek penelitian? Subjek penelitian adalah sumber tempat kita memperoleh keterangan atau orang yang ingin kita ketahui sifat dan tabiatnya sedangkan objek penelitian adalah informasi apa yang ingin kita ketahui dari sumber tersebut (Tatang, 1990 melalui Suryaningsih, 2009: 26) selain itu definisi obejk penelitian yang dipaparkan oleh Arikunto (2006: 118) adalah apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Contoh subjek dan objek penelitian dalam sebuah penelitian yang berjudul Penggunaan Ragam Bahasa Pada Acara Ovj Di Trans 7, subjek penelitian adalah para pemain baik aktor maupun aktris yang ada di dalam OVJ tersebut, sedangkan objek penelitiannya adalah berbagai ragam bahasa yang digunakan oleh pemain dalam berkomunikasi dalam acara tersebut.

Penelitian bahasa memiliki peranan dalam pengembangan cabang-cabang ilmu bahasa. Nababan dan Subyakto (1992) yang menyatakan bahwa penelitian-penelitian bahasa memiliki peranan untuk mengembangkan materi baru dalam bahasa, menggantikan teori lama dengan temuan yang ada di dalam penelitian bahasa, dan menambahkan teori baru dari teori lama dari hasil penelitian bahasa yang telah dilakukan, seperti munculnya sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, antropolinguistik. Penelitian yang terus menerus dan mendalam pada bidang linguistik akhirnya memunculkan cabang-cabang linguistik yang lebih rinci (Chaer, 2007: 14-17) sebagai berikut.

  1. Berdasarkan objek kajiannya, apakah apakah bahasa pada umumnya atau bahasa tertentu dapat dibedakan menjadi linguistik umum dan linguistik khusus.
  2. Berdasarkan objek kajiannya, apakah bahasa pada masa tertentu atau bahasa pada sepanjang masa dapat dibedakan adanya linguistik sinkronik dan linguistik diakronik.
  3. berdasarkan objek kajiannya, apakah struktur internal bahasa atau bahasa itu dalam hubungannya dengan faktor-faktor diluar bahasa dibedakan adanya linguistik mikro dan linguistik makro.
  4. Berdasarkan objek tujuannya, apakah penyelidikan linguistik itu semata-mata untuk merumuskan teori ataukah untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bisa dibedakan adanya linguistik teoretis dan linguistik terapan.

Berbagai pengembangan cabang-cabang ilmu bahasa tersebut diawali oleh fenomena-fenomena kebahasaan yang terdiri dari fenomena bahasa lisan dan tulisan. Fenomena kebahasaan merupakan suatu hal atau kejadian bahasa yang dapat diamati oleh panca indra, dapat dinilai, dapat diterangkan melalui penelitian secara mendalam baik  fenomena lisan maupun tulisan (KBBI:2008, 410). Fenomena bahasa lisan seperti pengaruh bahasa Madura terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SDManduro kecamatan kabuh, fenomena bahasa mandura tersebut terletak di kecamatan kabuh kecamatan jombang, bahasa ini muncul sebagai akibat dari masa penjajahan dan kemudian masyarakat yang berasal dari Madura ini diasingkan pada daerah Kabuh tersebut dan tidak bisa kembali ke Madura karena jaraknya yang jauh sehingga sampai saat ini masyarakat tersebut masih menetap di kecamatan Kabuh dengan menggunakan bahasa Madura dalam kehidupan sehari-hari. Struktur bahasa yang digunakan oleh masyarakat mandura tersebut memiliki keunikan dan penelitian tersebut merupakan bentuk dokumentasi bahasa sebagai upaya pemertahanan bahasa. Bahasa Madura sebagai bahasa ibu dari anak-anak yang berdomisili di desa Manduro tersebut diyakini oleh penulis akan mempengaruhi pembelajaran bahsa kedua dalam sekolah yakni bahasa Indonesia.

Selanjutnya penelitian bahasa mengenai fenomena bahasa tulisan seperti fungsi, peran, dan kategori sintaksis pada makalah matakuliah menulis bahasa mahasiswa STKIP PGRI JOMBANG angkatan 2012. Adanya fenomena banyaknya kesalahan pada tataran sintaksis khususnya fungsi sintaksis, yakni meliputi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Masing-masing fungsi sintaksis tersebut akan mengikat peran sintaksis sehingga menjadikan kalimat tersebut dapat mudah dipahami dan kategori sintaksis meliputi kategori nomina, verba, adjektifa dan adverbia, fungsi sintaksis harus memiliki kategori yang tepat sesuai dengan kategori sintaksi. Dengan demikian fenomena fungsi, peran, dan kategori sintaksis pada makalah mahasiswa merupakan satu fenomena yang penting untuk diteliti agar makalah mahasiswa tersebut nantinya mengalami perbagikan dalam hal fungsi, peran dan kategori sintaksis.

Salah satu penelitian yang berhubungan dengan fenomena bahasa lisan akan diuraikan lebih jauh oleh penulis, yakni Pengaruh Bahasa Madura terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD Mandura kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang,. Berdasakan uraian sebelumnya mengenai latar belakang penelitian tersebut maka rumusan permasalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut (1) bagaimanakah struktur bahasa pada bahasa manduro kbupaten jombang? (2) bagaimanakah pengaruh bahasa manduro dalam pembelajaran bahasa indonesia?,

Jenis penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif naturalistik. Bogdan dan Tylor (melalui Moleong, 2011: 4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertuliatau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati definisi ini memiliki kaitan dengan Penelitian deskriptif merupakan metode yang bertujuan membuat deskriptif, yakni membuat gambaran, lukisan secara otomatis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti (Djajasudarma, 2010: 9). Selanjutnya Gall. Gall dan Borg (2003: 287) menyebutkan bahwa ciri umum dari sebuh penelitian deskriptif adalah melibatkan tentang tingkah laku, aspek kognitif dan hal lainnya tanpa interverensi dari peneliti atau dalam penelitian ini tidak ada campur tangan peneliti pada objek yang sedang diteliti.

Teknik pengumpulan data adalah dengan sebagai berikut.

  1. Observasi, penulis akan mengobservasi langsung ke lokasi penelitian agar peneliti mengetahui secara langsung berbagai fenomena yang diangkat tanpa melalui perantara
  2. Wawancara dengan penutur asli, yakni para pengguna bahasa dan dipilih informan yang dapat memberikan data secara otentik.
  3. menggunakan teknik simak libat cakap, kegiatan ini dilakukan pertama-tama dengan berpastisispasi sambil menyimak berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan (Sudaryanto,1993: 133)
  4. rekam, kegiatan merekam disini dilakukan ketika masyarakat mandura tersebut ada acara dengan menggunakan bahasa mandura kemudian peneliti merekam kegiatan tersebut.
  5. catat, kegiatan ini dilakukan ketika peneliti menemukan data-data penguat data utama penelitian maka peneliti harus mencatatnya.
  6. data dimasukkan secara pribadi, data yang telah ditemukan oleh penelitia maka di masukkan secara pribadi pada analisis data sesuai dengan rumusan masalah (Moleong, 2006).

Selain teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data juga merupakan bagian penting dalam penelitian sebagai ciri penelitian kualitatif maka peneliti merupakan instrumen utama dan didukung oleh adanya instrumen :

  1. Lembar observasi
    1. Rumusan masalah I
No

Struktur bahasa

Data

Analisis

1 Fonologi    
2 Morfologi    
3 Sintaksis    
  1. Rumusan masalah II
No

Pengaruh bahasa

Data

Analisis

1 Kesalahan Fonologi    
2 Kesalahan Morfologi    
3 Kesalahan Sintaksis    

 

  1. Daftar Pertanyaan, daftar pertanyaan ini diberikan pada informan dan ahli bahasa.
    1. Bagaimanakah bahasa Madura itu muncul?
    2. Apakah saat ini masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari?
    3. Siapa saja yang menggunakan bahasa mandura?
    4. Apakah ibu juga mengajarkan anak-anaknya bahasa mandura sebagai bahasa pertama?
    5. alat dokumentasi
      1. handycam JVC model No. GR-DVL 166EK , b) camera digital DS-S650 Sony,  c) cassette corder TCM-150 Sony, dan

Teknik analisis sebagai bagian akhir dari sebuah metode penelitian dalam rancangan penelitian yang telah diuraikan oleh penulis sebagai berikut.

  1. Transkrip rekaman, dalam hal ini dikategorisasi berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori
  2. Mereduksi, artinya membuang data yang tidak penting atau tidak digunakan
  3. Metode padan, metode ini digunakan dengan berkonsultasi oleh ahli bahasa. Dalam hal ini bahasa indoensai digunakan untu menjadi alat penentu atau untuk mentranslasionalkan satuan lingual bhasa mandura, yang dikategorikan sebagai rumusan maslah dan landasan teori, karena dalam hal ini bahasa mandura diasumsikan memiliki hubungan dalam hal kemiripan urutan struktur yang tidak jauh berbeda dengan bahasa indonesia karena berasal dari rumpun bahasa yang sama, yaitu bahasa austronesia.

rancangan Penelitian yang akan dilakukan tersebut memiliki output sebagai berikut.

  1. Memberikan teori baru dalam pembelajaran bahasa indonesia berkaitan dengan struktur bahasa sebagai perbandingan. Struktur bahasa disini meliputi:
  2. Struktur fonologi
  3. Struktur morfologi
  4. Struktur sintaksis
  5. Mendeskripsikan sejauh mana bahasa pertama (mandura) mempengaruhi pembelajaran bahasa kedua, yakni bahasa Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi:
  6. Kesalahan pada tataran fonologi yang digunakan oleh peserta didik yang memiliki bahasa pertama bahasa mandura
  7. Kesalahan pada tataran morfologi yang digunakan oleh peserta didik yang memiliki bahasa pertama bahasa mandura.
  8. Kesalahan pada tataran sintaksis yang digunakan oleh peserta didik yang memiliki bahasa pertama bahasa mandura
  9. Memperkaya kaidah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa mandura sebagai salah satu bahan materi baru bagi pengajaran bahasa Indonesia.
  10. Merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa.

Daftar pustaka

Arikunto, suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:Rineka Cipta.

Chaer, abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Suryaningsih, Endang.2009. Sikap Murid. Perpustakaan digital 127114-RB13E284s .Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia

Nababan dan Subyakto, Utari Sri. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gall, M.D., Gall, J.P., & Borg, Walter R… (2003). Educational Research An Introduction Seventh Edition. New york: pearson education inc.

Djajasudharma, Fatimah. 2010. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian Dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama.

Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakrya Offset.

Seliger, W. Herbert. 1989. Second Language Research Methods. Coburg. Oxford university.

Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguitis. Yogyakarta: Duta wacana university press.

Dipublikasi di Metode Penelitian | Meninggalkan komentar

Critical Period (periode kritis)_part of psycholinguistics

Belajar bahasa terbaik adalah pada critical period. benarkah demikian? lalu apa yang terjadi jika seseorang baru mendapatkan bahasa pertama setelah periode tersebut berlalu? berikut kita akan berdiskusi mengenai permasalahan tersebut.

Mengenai critical periode dalam belajar bahasa Field (2003: 98) menyampaikan adanya hipotesis periode kritis sebagai berikut, “hipotesis periode kritis adalah ada waktu selama awal kehidupan kita ketika kita memiliki penerimaan bahasa maksimum. Jika karena alasan apapun seorang anak tidak memperoleh bahasa selama critical periode, berdasarkan argumen Field maka anak hanya akan mencapai tingkat kompetensi yang terbatas. Pendapat ini didukung oleh Lenneberg (1967 melalui Field, 2003: 98) yang menyatakan adanya hubungan antara teori dan lateralisation: bahwa critical periode mungkin bertepatan dengan waktu ketika otak anak yang fleksibel dan sebelum bahasa telah menjadi sepenuhnya didistribusikan antara belahan otak.

Senada dengan pendapat Field dan Lenneberg, Brown (2007: 61) menyatakan bahwa sebagian besar pembicaraan tentang usia dan pemerolehan berkisar pada pertanyaan apakah ada sebuah periode kritis bagi pemerolehan bahasa? periode kehidupan yang dipengaruhi faktor biologis ketika bahasa bisa dikuasai lebih mudah dan selepas periode ini bahasa menjadi kian sulit dikuasai.

Berdasarkan berbagai pendapat ahli terkait dengan pernyataan “belajar bahasa terbaik adalah pada critical periode? maka pernyataan tersebut merupakan pernyataan yang benar.

  • Bagaimanakah pemerolehan bahasa pertama setelah critical periode?

Lenneberg menyatakan jika perkembangan kemampuan untuk berbahasa hanya dimulai pada tahap infancy, point untuk sebuah proses pemerolehan bahasa: setiap anak dimanapun berada mengalami critical periode yang sama dalam pemerolehan bahasa pertama. Meskipun detail konsepnya bersifat kontradiktif dan banyak peneliti yang setuju dengan periode dalam pemerolehan bahasa pertama, yakni sebelum berusia sepuluh tahun karena setelah berusia sepuluh tahun sistem linguistik mereka tidak bisa berkembang. Pernyataan ini didasarkan pada sebuah hasil penelitian yang disebut “Wild Children”, khususnya kasus yang menimpa Genie, seorang anak dari California yang dikunci di kamar mandi oleh ayahnya pada saat berusia tiga belas tahun. Sejak saat itu, Genie tidak pernah menerima input bahasa apapun. Setelah ia dibebaskan pada bulan November tahun 1970 dan sempat mendapatkan pembelajaran bahasa  seorang ahli yang berasal dari universitas California LA selama satu tahun. Akan tetapi ia hanya bisa mempergunakan bahasa secara sederhana. Selain itu, Lenneberg dan Bickerton (melalui Brown, 2007: 61-62) juga membuat pernyataan tegas mendukung critical periode, yang meyakini bahwa kemampuan-kemampuan tertentu tidak mungkin berkembang sebelum dan sesudah rentang waktu tersebut.

Dengan demikian, proses pemerolehan bahasa pertama pada seseorang yang baru mendapatkan bahasa pertamanya setelah critical periode berlalu seseorang tersebut akan mendapatkan bahasa pertama dengan sistem linguistik yang tidak berkembang, kompetensi morfologi dan sintaksis yang tidak kompleks (berhubungan dengan kasus Genie), tidak memperoleh bahasa pertama secara menyeluruh, tidak bisa memperoleh bahasa sebaik seseorang yang mendapatkan bahasanya pada waktu periode kritikal, tidak bisa memperoleh tata bahasa dan kosa kata sebaik seseorang yang mendapatkan bahasa pertamanya pada ciritcal periode (Steinberg, 2001). 

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Penilaian Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

PENILAIAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

oleh Diana Mayasari_12706251068

 Pengantar

Dunia pendidikan merupakan bagian yang potensial untuk memperbaiki sumber daya manusia sebagai modal meningkatkan daya saing bangsa dengan bangsa yang lainnya. Upaya-upaya pengembangan yang dilakukan oleh  institusi pendidikan turut mendukung terciptanya pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau yang dikenal dengan istilah otentik. Hal ini nampak dalam langkah pengembangan kurikulum, bahan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan yang tak kalah pentingnya adalah pengembangan alat penilaian pembelajaran.

Langkah-langkah pengembangan alat evaluasi mengarah pada kebutuhan peserta didik dan harus sesuai dengan perkembangan peserta didik. Seperti adanya tes otentik, penilaian ini mengarah pada penilain yang lebih bermakna tidak hanya untuk sekedar pada pembelajaran saja namun juga untuk kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan bagian yang tak kalah pentingnya dengan materi kebahasaan. Namun, sayanganya banyak guru yang menganak tirikan pembelajarn sastra tersebur. Berdasarkan ulasan tersebut, ulasan ini akan menguraikan hakikat penilaian, langkah-langkah pengembangan alat evaluasi yang baik. Penerapan tes otentik di sekolah khususnya keterampilan menulis, dan penilaian kompetensi bersastra yang komprehensif.

Hakikat penilaian

Salah satu peran penting dalam penilaian adalah membantu guru untuk membuat keputusan dalam pembelajaran. Brown (2004:3 ) mengemukakan bahwa penilaian merupakan sebuah cara pengukuran pengetahuan, kemampuan, dan kinerja  seseorang dalam suatu ranah yang diberikan. Definisi ini menunjuk pada sebuah pengertian bahwa penilaian adalah suatu cara, artinya penilaian terdiri dari teknik-teknik dan prosedur yang tersusun secara sitematis. Kemudian penialain merupakan sebuah alat pengukuran artinya penilaian yang dilakukan mampu mengukur pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam secara umum maupun secara khusus. Terakhir, penilaian adalah suatu pengukuran  kinerja artinya alat penilain harus mampu mengukur keterampuan, hasil karya, dan kinerja seseorang dalam ranah yang hendak diujikan. Pendapat lain mengemukakan evaluasi merupakan kriteria khusus dalam pembuatan keputusan melalui informasi sikap yang baik, pekerjaan yang baik, dan belajar yang baik, serta menentukan langkah yang tepat dalam pembelajaran berikutnya (Anderson, 2008:21).Komponen evaluasi anderson tersebut evaluasi merupakan sarana untuk memperoleh informasi mengenai peserta didik dan pembelajaran yang dilakukan, serta sebagai sarana pembuat keputusan.

Langkah-langkah pengembangan alat evaluasi yang baik

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, penilaian merupakan rangkaian teknik, prosedur yang sitematis. Oleh karena itu, penilaian harus direncanakan dengan baik, agar hasil yang diperoleh dari kegiatan penilaian dapat dipertanggungjawabkan. Berikut langkah-langkah dalam pengembangan alat evaluasi (Nurgiyantoro, 2012: )

  1. Penentuan spesifikasi ujian

Penentuan spesifikai ujian dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut.

  1. Penentuan kompetensi dasar
  2. Pembuatan deskripsi bahan uji
  3. Pembuatan kisi-kisi pengujian
  4. Penentuan bentuk soal dan lama ujian
  5. Penulisan butir soal

Salah satu kriteria dalam penulisan butir soal adalah sesuai dengan tuntutan indikator dan disesuaikan dengan bahan ajar selain itu pada tahap ini penulis soal harus memperhatikan bentuk soal, jumlah soal per indikator per kemampuan dasar, jumlah keseluruhan butir soal. Selain itu, Spolsky, (2002: 618-619) mengemukakan bahwa bahasa merupakan bagian penting dalam penilaian, yakni sebagai pusat dalam penilaian, baik itu penilain secara tertulis maupun lisan, siswa juga menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menjawab pertanyaan walaupun kadang jawaban tersebut didukung dengan angka-angka, melalui bahasa guru mengetahui seberapa jauh kompetensi yang ada dalam diri siswa. Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam penulisan butir soal juga merupakan bagian yang penting untuk diperhatikan.

  1. Penelaahan butir soal

Tahap penelaahan butir soal berkaitan dengan diujiconbakan butir-butir soal yang hendak diujikan, untuk melihat kelayakan butir-butir soal tersebut., yakni dnegan ditelaah oleh expert juggement atau dengan teman sejawat yang dilakukan lebih dari satu orang. Telaah dilakukan dengan berpanduan pada kriteria telaah butir soal. Alat evauasi yang telah sesuai dengan kisi-kisi dan tuntutan kriteria maka alat evaluasi tersebut telah memenuhi validitas isi.

Tabel 1

Contoh Lembar Telaah untuk Soal Bentuk Pilihan Ganda

Butir Soal
   Jenis Persyaratan 1 2 n
A. Materi 1. Butir soal sesuai dengan indikator
2. Hanya ada satu kunci jawaban benar
3. Isi materi sesuai dgn tujuan pengukuran
4. Isi materi sesuai dgn tk kelas/jenj. pend.
5. Butir pengecoh berfungsi dengan baik
B. Konstruksi 6. Pokok soal dirumuskan dengan jelas
7. Pilihan jawaban dirumuskan dengan jelas
8. Pokok soal tdk mengarah ke jawbn benar
9. Tidak ada bentuk negatif ganda
10. Pilihan jawaban homogen
11. Panjang pilihan jawbn kurang lebih sama
12. Antarbutir soal tdk brgntng satu sama lain
13. Pilihan dlm bentuk angka/waktu diurutkan
C. Bahasa 14. Rumusan bahasa komunikatif
15. Kalimat gramatikal
16. Kalimat tidka bermakna ganda
17. Kosakata baku/umum/netral

(diadopsi dari Nurgiyantoro, 2012: 24)

  1. Pelaksanaan uji coba

Soal yang telah memenuhi kriteria tersebut dana telah ditelaah oleh expert judment, maka langkah berikutnya adalah menguji cobakan soal tersebut sehingga diketahui kualitas soal, meliputi efektifitas butir pengecoh, tingkat kesulitan soal, indeks daya beda, dan akhirnya soal tersebut . langkah ini menunjuk pada hasil ujian yang dilakukan akan dimaknai sebagai pelaksanaan tes yang sebenarnya untuik melihat kemampuan dan kompetensi yang diajarkan telah dikuasai oleh peserta didik.

  1. Analisis butir soal dan jawaban
    1. Analisis butir soal yang digunakan untuk analisis soal lebih jauh agar memenuhi kelayakan, misalnya untuk kebutuhan penelitian, dengan melihat ITK, IDB, dan Indeks efektivitas distraktor. Langkah ini dapat dibantu dengan menggunakan progam komputer iteman atau anate.s
    2. Analisis jawaban, langkah ini dilakukan dengan analisis perbutir soal dengan indikator per kemampuan dasar dipergunakan sebagai masukan perbaikan pembelajaran, kompetensi dasar mana yang sudah dikuasai atau yang masih belum dikuasai.
    3. Perbaikan butir soal dan perakitan soal ujian sesuai dengan analisis butir-butir soal
    4. Pelaksanaan ujian harus ditentukan baik waktu, tempat dan pengawasan yang cermat
    5. Penafsiran hasil ujian, dilakukan dengan pemberian nama, yang lazim, dan melakukan dua pendekatan, yakni pendekatan acuan kriteria dan pendekatan acuan norma. Hasil penafsiran tersebut dapat digunakan untuk memaknai seberapa jauh siswa telah menguasai kompetensi yang diajarkan dan dapat digunakan juga sebagai penentu keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

Penilaian yang dilakukan oleh guru hendaklah memiliki kinerja kebermaknaan dan bernilai disebut dengan penilaian otentik. Sebuah pertanyaan sederhana mengenai proses penilaian adalah apakah aspek yang dinilai?  Apakah selama ini penilaian yang dilakukan sudah tepat ? adakah hubungan penilaian dengan kebutuhan peserta didik di dunia nyata? Atau penilaian cukup pada konsep-teori saja tanapa membrikan nilai praktis. Berkaitan dengan berbagai pertanyaan tersebut maka disinilah peran tes otentik dalam sekolah.

Penerapan tes otentik menulis di sekolah

Penilaian otentik memberikan kesempatan pada siswa untuk menghubungan apa yang mereka pelajari, mengaplikasikan pengetahuan yang esensial, dan keterampilan dalam tugas-tugas dan masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia nyata yang sesungguhnya (Jounal:Creating Assesment, 2008: 6). Nurgiyantoro (2011: 23) mengemukakan bahwa bahwa penilaian otentik menekankan kemampuan peserta didik untuk mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik senyata-nyata dan meiliki makna. Penilaian selama ini yang dilakukan adalah penilaian yang bersifat tradisional. Lalu bagaimanakah perbedaan tes otentik dengan tes tradisional. Kedua jenis penilaian tersebut memiliki kriteria yang berbeda sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut.

 

Keutamaan penilaian otentik yang disampaikan dalam Jounal:Creating Assesment, 2008: 6-7 adalah sebagai berikut  .

  1. Buruknya struktur yang tidak dapat diprediksi dengan pilihan-pilihan dan peran, dengan demikian membantu melatih siswa menghadapi kekomplekan abiguitas dari dunia kerja dan kehidupan yang profesional
  2. Melatih siswa untuk lebih respek bahwa setiap permaslahan memilki lebih dari satu penyelesaain
  3. Hal ini merupakan respon dari stakeholder luar seperti bagian industri dan berbagai profesi untuk perguruan tinggi menawarkan penelitain yang lebih relevan bahwa meningkatkan mutu lulusan, termasuk perkembangan kemampuan lulusan

Aplikasi tes otentik dalam tingkatan sekolah menengah atas.

Aplikasi tes otentik terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut.

  1. Penentuan standar

Standar Kompetensi

4. Mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif, ekspositif)

Kompetensi Dasar

4.1 Menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu dan tempat dalam bentuk paragraf naratif.

Indikator :

  • Mampu menentukan topik-topik yang dapat dikembangkan menjadi paragraf naratif
  • Menyusun kerangka paragraf naratif dengan memperhatikan pola urutan waktu dan tempat
  • Mengembangkan kerangka yang telah disusun menjadi paragraf naratif

Nilai karakter : kreatif, mandiri, rasa tangungjawab, bersahabat/ komunikatif, tanggungjawab.

  1. 2.      Penentuan tugas otentik

            Tugas otentik berupa:

(1)   indikator pertama: menentukan ide-ide paragraf naratif., indikator kedua:  menyusun kerangka karangan, indikator ketiga: mengembangkan kerangka karangan

 

(2)   Indikator pertama: tugas menuliskan ide paragraf  ke dalam topik-topik tertentu.

  • Sebelum pelaksanaan pembelajaran guru telah mempersiapkan jenis-jenis paragraf dan memberikan contoh nyata paragraf naratif yang berguna dalam masyarakat, seperti berita, peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar peserta didik dan di bawa dalam pembelajaran.
  • Menugasi peserta didik untuk membaca, mencermati dan menulis topik-topik dalam yang terdapat dalam koran kemudian berdiskusi bersama untuk menentukan topik yang ditemukan

(3)   Indikator kedua: menyusun berbagai topik.

  • Setelah itu peserta didik diberi tugas untuk menulis sebuah topik yang berhubungan dengan sekolah, aktifitas di rumah atau berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat.

 

(4)   Indikator: Mengembangkan kerangka karangan

Siswa diberi tugas untuk mengembangkan kerangka karangan sesuai dengan topik yang telah dipilih masing-masing peserta didik diluar kelas seperti di di taman pantauan guru.

(5)   Indikator keempat : menuliskan kerangka karangan.

Siswa diberi tugas untuk menuliskan kerangka yang telah dibuat dengan memperhatikan aspek-aspek yang hendak dinilai guru, seperti pola urutan waktu dan tempat

Perintah tugas peserta didik untuk indikator pertama, kedua, dan ketiga

Indikator pertama: anda sekalian silahkan membaca koran yang berjudul “ Pemilihan Bupati Jomabang” yang telah Ibu bagikan. Kemudian tulislah masing-masing topik yang kalian temukan dalam berita tersebut dan setelah kalian menemukan berbagai topik yang ada di dalamnya kita diskusikan topik-tersebut.

Indikator kedua: setelah tadi kita berdiskusi tentang topik paragraf naratif yang terdapat di koran. Kemudian, sekarang susunlah  topik-topik dalam buku tugas kalian yang berhubungan dengan aktifitas kalian di sekolah, di rumah, di masyarakat dan berbagai kejadian penting yang terjadi di sekitar kalian. Ingat! Yang harus kalian perhatikan adalah pola urutan waktu dan tempat dai kerangka tersebut.

Indikator ketiga: tugas berikutnya yang harus kalian lakukan setelah menyusun kerangka karangan adalah mengembangkan kerangka paragraf tersebut dalam paragraf narasi, sehingga ide-ide kalian tertampung semuanya dalam paragraf tersebut.

Contoh rubrik penilaian keterampilan menulis.

No.

Aspek yang Dinilai

Tingkat Capaian Kinerja

1

2

3

4

5

1

Kualitas isi paragraf          

2

Keakuratan dan keluasan isi          

3

Organisasi penulisan paragraf          

4

Kebermaknaan keseluruhan tulisan          

5

Ketepatan diksi          

6

Ketepatan kalimat          

7

Ejaan dan tata tulis          

           

Jumlah Skor:

 

(diadopsi dari Nurgiyantoro, 2012: 439)

Setelah ulasan sebelumnya berisi langkah pengembangan alat evaluasi, kemudian penerapan tes otentik di sekolah dalam satu keterampilan bahasa, rasanya kurang lengkap kalau kita tidak berbicara sastra.

Penilaian kompetensi bersastra yang Apresiatif

Bagaimanakah penilaian kompetensi bersastra yang apresiatif itu? Merujuk Nurgiyantoro (2012: 456) berbicara masalah penilaian kompetensi sastra yang apresiatif adalah membaca karya secara langsung. Berikut aplikasi penilaian bersastra yang apresiatif.

  1. A.    Standar Kompetensi      :

6. Membahas cerita pendek melalui kegiatan diskusi

  1. B.     Kompetensi Dasar          :

6.2 Menemukan nilai-nilai cerita pendek melalui kegiatan diskusi

  1. C.    Indikator
    1. Mengidentifikasi nilai-nilai dalam cerpen
    2. Mendiskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen
    3. Menceritakan kembali isi cerpen yang dibaca dengan menggunakan bahasa sendiri
    4. D.    Bentuk soal
      1. Tentukanlah nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen “ Sekolahku di Pedalaman” melalui kegiatan diskusi kelompok dengan tepat!
      2. Ceritakan kembali isi cerita pendek “Sekolahku di pedalaman” dengan bahasamu sendiri !
      3. E.     Rubrik Penilaian

Rubrik penilaian tugas menemukan nilai-nilai cerita pendek

No.

Aspek yang Dinilai

Tingkat Capaian Kinerja

1

2

3

4

5

1

Ketepatan analisi nilai-nilai cerpen          

2

Ketepatan argumentasi          

3

Penunjukan bukti pendukung          

4

Ketepatan kata dan kalimat          

5

Ketepatan penuturan.          

Jumlah Skor:

 

(diadopsi dar Nurgiyantoro, 2012: 483)

 

 


 

Daftar Pustaka

Anderson, Lorin. W. (2008).Classroom Assessment. New Jersey: Lawrence Elrbaum Ascociates Publisher.

Brown, H. Douglas. (2004). Language Assessment Principles and Classroom Practices. White Plains NY: Pearson Education

Bernard, Spolsky dan Francais M. Hult. 2008. The Hanbook of Educasional Linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.

Burhan Nurgiantoro. (2011). Penilaian Otentik. Yoykarta: Gadjah Mada University Press.

Burhan Nurgiantoro. (2012). Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Journal Learning And Teaching Centre Macquarie University. Creating Authentic Assesment. 2008. Journal.page 6-9. Diunduh tanggal 01 Juni 2013.

 

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa

Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa
oleh Diana Mayasari

Abstrak

Aplikasi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa adalah berbagai aplikasi sosiolinguistik terhadap pengajaran bahasa sebagai manifestasi sosiolinguistik dalam bidang linguistik pendidikan. Sosiolinguistik sebagai bagian dari linguistik makro tidak hanya membahas aspek-aspek yang sempit, namun juga berbagai aspek yang luas, seperti variasi bahasa interferensi sebagai bentuk penyimpangan bahasa, dan etnografi komunikasi sebagai wujud masyarakat yang beraneka budaya. Bahan di dalam pengajaran  bahasa juga ditentukan oleh sosiolinguistik. Tulisan ini akan mengulas mengenai kontribusi sosiolinguistik dalam penyediaan bahan pengajaran bahasa dari sudut pandang sosiolinguistik dan penentuan variasi bahasa (termasuk pronomina persona) yang digunakan di sekolah, penentuan interferensi yang muncul pada komunikasi pembelajar sebagai suatu bentuk kesalahan bahasa, etnografi komunikasi dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing (BIPA), dan

Kata kunci: sosiolinguistik, pengajaran bahasa, variasi bahasa, interferensi, etnogtafi komunikasi, dan bahan pengajaran bahasa.

  1. A.    Pendahuluan

Bahasa dapat diartikan sebagai alat komunikasi, sarana untuk mengekspresikan diri, dan merupakan bagian yang erat dari budaya serta nilai-nilai masyarakat penuturnya, yakni masyarakat bahasa (Blomfield, 1995: 40). Masyarakat yang ada disekitar kita bukanlah masyarakat yang homogen, melainkan masyarakat heterogen yang terdiri atas berbagai agama, budaya, suku, etnis, ras dan pendidikan. Heterogenitas tersebut mengakibatkan munculnya fenomena bahasa yang telah diteliti oleh para ilmuwan dan melahirkan cabang-cabang ilmu bahasa seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, antropolinguistik, dan sebagainya. Sosiolinguistik sebagai bagian dari linguistik makro telah banyak diteliti oleh para ahlinya. Lalu apa sajakah temuan penelitian sosiolinguistik tersebut? Adakah hubungan dengan pengajaran bahasa?

Parera (1986: 9) mengemukakan bahwa penelitian bahasa dapat dipergunakan untuk mempersiapkan materi pengajaran, memperbarui metode mengajar, menambah pengetahuan tentang bahasa, dan melakukan analisis evaluasi tentang pengajaran bahasa. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa tujuan penelitian bahasa di Indonesia dapat diarahkan kepada dua sasaran, yakni untuk kepentingan ilmu pengetahuan bahasa (linguistik) dan untuk kepentingan pengajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, temuan-temuan sosiolinguistik juga memiliki dua implikasi tersebut selain menambah teori-teori tentang bahasa juga memberikan kontribusi bagi pengajaran bahasa.

Tulisan ini akan menelaah dua implikasi tersebut dalam pengajaran bahasa dengan tujuan (1) untuk mengetahui aplikasi hasil penelitian sosiolinguistik terhadap pengajaran bahasa, meliputi penyusunan bahan pengajaran bahasa melalui kerangka kurikulum dan (2) sumbangan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa dalam menyikapi fenomena-fenomena yang muncul seperti variasi bahasa, interferensi dan etnografi komunikasi pada budaya pembelajar. Spolsky (2008: 606) menyarankan pada guru agar mempersiapkan dengan baik materi (conten) yang hendak disampaikan dengan penelaahan bahasa yang digunakan oleh pembelajar sehingga guru dapat memanfaat bahasa sebagai media dalam pembelajaran melalui tiga lensa berpikir, mengajar dan menilai secara lingustik agar hasil pembelajaran dapat dicapai dengan maksimal. Dari tiga lensa tersebut yang hendak diulas lebih jauh adalah berpikir secara linguistik dan mengajar secara linguistik sesuai dengan tujuan penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pengajaran bahasa merupakan bagian dari linguistik terapan (applied linguistic). Kaitan sosiolinguistik dengan pengajaran bahasa, yakni keduanya merupakan bagian dari linguitik terapan. Sosiolinguistik sebagai pondasi pendidikan bahasa tidak hanya melakukan kajian dari struktur intern saja melainkan telaah dari struktur ekstern. Struktur ekstern disini dikaitkan dengan aplikasi sosiolinguistik dalam mengatasi masalah-masalah dalam dunia pendidikan, seperti penentuan variasi bahasa yang ada dalam penggunan pronomina persona oleh pembelajar, interferensi yang muncul dalam pengajaran bahasa, etnografi komunikasi yang ada di Bahasa Indonesia untuk Pengguna Bahasa Asing (BIPA) dan kontribusi sosiolinguistik dalam perancangan bahan materi pengajaran.

B. Dasar Teoretik

1. Sekilas Mengenai Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan pondasi linguistik pendidikan yang terdiri atas variasi bahasa, interaksi dengan menggunakan berbagai bahasa, adanya gender, etnisitas, dan jaringan sosial sebagai dasar penggunaan bahasa yang beragam, masyarakat multilingual dan munculnya kontak bahasa (Spolsky, 2008:66-76). Selain itu sosiolinguistik menelaah bahasa yang dipengaruhi oleh masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Spolsky (1998: 1) yang menyebutkan bahwa sosiolinguistik adalah bidang yang mempelajari hubungan antara bahasa dan masyarakat sosial, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial di mana pengguna bahasa hidup. Dittmar (1976: 128; Chaer dan Agustina, 2010: 5) mengemukakan  tujuh dimensi sosiolinguistik yang telah dirumuskan pada tahun 1964, di University of California, Los Angeles sebagai masalah yang dibicarakan dalam sosiolinguistik. Berikut uraian dari ketujuh dimensi tersebut.

  1. Identitas sosial dari penutur.
  2. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi.
  3. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi.
  4. Analisis singkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial.
  5. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran.
  6. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
  7. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik.

2. Variasi bahasa, Interferensi dan etnografi komunikasi.

Keberadaan manusia dalam masyarakat sangat beragam baik agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, usia dan sebagainya. Disamping itu dalam menjalin kehidupan manusia membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kepentingannya. Berdasarkan pernyataan tersbeut maka bahasa akan mempunyai variasi-variasi sesuai kelompok penuturnya. Kekhususan dalam masing-masing kelompok  ditandai oleh penggunaan variasi bahasa yang digunakan pemakainya dalam berinteraksi (Kartomiharjo, 1988: 4). Variasi dalam masing-masing kelompok ini dikenal dengan istilah ragam bahasa atau variasi bahasa. Selain itu Chaer dan Agustina (2010:70-72) membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya yang terdiri atas ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai dan ragam akrab.

Interferensi adalah penyimpangan norma bahasa masing-masing yang terjadi di dalam tuturan dwibahasawan (bilingualisme) sebagai akibat dari pengenalan lebih dari satu bahasa dan kontak bahasa itu sendiri. Interferensi meliputi interferensi fonologi, morfologi, leksikal, dan sintaksis. Contoh interferensi fonologi pada kata Bantul èmBantul. Interferensi morfologi pada kata terpukulèkepukul. Hal ini terinterferensi bahasa Indonesia oleh bahasa Jawa. Interferensi sintaksis pada kalimat di sini toko laris yang mahal sendirtoko laris adalah toko yang paling mahal di sini. Interferensi leksikon pada kata kamanahèkemana (bahasa Indonesia terinterferensi bahasa Sunda).

Etnografi komunikasi pertama kali dikemukakan oleh Dell Hymes (Murrel, 2003: 3) bahwa studi bahasa harus memperhatikan aturan sosial, budaya, norma dan nilai-nilai yang mengatur perilaku dan interpretasi proses ujaran dan sarana komunikasi lainnya dalam teorinya selama ini ini ahli bahasa bahasa hanya mengkaji struktur saja sedangkan antropolgi hanya melihat bahasa untuk melihat aspek budaya lainnya. Hymes mengemukkan komponen yang menjembatani keduanya melalui teorinya yang dikenal dengan SPEAKING.

  1. S: (situation), terdiri atas setting dan scene. setting menunjuk pada waktu, tempat dan keadaan fisik tuturan secara keseluruan,  Scene mengacu pada keadaan psikologis pembicaraan. Misalnya dari situasi formal berubah menjadi informal.
  2. P: (partisipants), mencakup penutur, petutur, pengirim dan penerima.
  3. E: (ends), meliputi maksud atau tujuan dan hasil.
  4. A: (act sequence), terdiri atas bentuk pesan dan isi pesan
  5. K: (key), mengacu pada nada, cara, atau semangat penyampaian pesan
  6. I: (instrumentalities), menunjuk pada jalur bahasa yang digunakan dalam pembicaraan seperti lisan, tulisan, melalui telegraf atau telepon dan bentuk tuturan seperti bahasa dan dialek, kode, fragam atau register seperti di Amerika dengan menggunakan dialek bahasa Inggris untuk mengarah pada situasi atau fungsi tertentu (seperti bahasa standar vs vernakular).
  7. N: (norms), mengacu pada aturan-aturan atau norma interaksi dan interpretasi. Norma interaksi merupakan norma yang terjadi dalam cara menyampaikan pertanyaan, interupsi, pernyatan, perintah dalam percakapan. Norma interpretasi, yakni penafsiran norma oleh partisipan dalam tuturan.
  8. G: (genres), mencakup jenis bentuk penyampaian, seperti syair, sajak, mite, hikayat, doa, bahasa perkuliahan, perdagangan, ceramah, surat edaran, tajuk rencana.

3.  Pengajaran bahasa

Brown (2007:8-9)  menyatakan bahwa pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, pemilihan metode dan teknik yang sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pengajaran bahasa pada suatu negara atau suatu daerah merupakan suatu keputusan politik, ekonomi dan sosial yang disebut kebijakan pengajaran bahasa. Apabila secara politis telah ditentukan, bahasa apa yang harus diajarkan, dan kepada siapa bahasa itu harus diajarkan, maka langkah selanjutnya adalah bahan apa yang harus diajarkan dan bagaimana cara mengajarkannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Parera (1986: 11) yang menjelaskan kebijakan pengajaran bahasa melalui bagan berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan:

M= metode dan variabel-variabel bahan

T= variabel guru (apa yang dibuat oleh guru)

I= variabel instruksi (apa yang diperoleh pelajar)

S= variabel sosiokultural (apa dan bagaimana sikap lingkungan)

L= variabel pembelajar (apa yang dilakukan oleh pelajar)

 

 

 

 

 

 

Setelah kebijakan bahasa dibuat, maka langkah selanjutnya adalah mendesain kurikulum bahasa. Machalister, (2010: 3) mengemukakan bagan desain kurikulum bahasa sebagai berikut.

 

 

 

Berdasarkan model tersebut aplikasi sosiolinguistik nampak pada tahap-tahap sebagai berikut.

  1.  Menentukan content dan sequent. Hal ini meliputi istilah-istilah linguistik, ide-ide, skill, teks, bahan dan strategi. Pada tahap ini memanfaatkan hasil analisis kebutuhan, untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan peserta didik dalam dunia nyata.
  2. Format dan penyajian, meliputi teknik dan prosedur dalam pembelajaran untuk membantu pembelajar termasuk di dalamnya terdapat metode, strategi dan teknik. Pada bagian ini harus memperhatikan kondisi peserta didik atau yang dikenal dengan analisis situasi, yakni bagaimana lingkungan peserta didik, bagaimana bahasa, budaya dan karakter peserta didik.

 

 

 

 

 

 

 

 C. Pembahasan

Aplikasi Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa

A. Peran sosiolinguistik dalam menentukan conten (bahan, materi) dan sequent (urut-urutan penyampaian).

Machalister (2010: 26) penentuan teks dalam pengembangan kurikulum bahasa memiliki kaitan erat dengan analisis kebutuhan seperti terlihat dalam bagan berikut.

Berdasarkan bagan tersebut sosiolinguistik berperan penting dalam penentuan teks yang akan digunakan dalam pembelajaran, yakni dalam rangka pemilihan teks harus sesuai dengan bahasa yang sudah familiar dengan kelas yang akan kita ajarkan. Selain itu Spolsky, (2008: 608) mengemukakan bahwa dalam kelas yang multilingual seperti pengajaran bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing (BIPA) guru harus ‘berpikir dan bertindak secara linguistik’. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, metode dan teknik. Misalnya tentor BIPA akan memberikan materi tentang perkenalan dalam forum resmi. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontekstual, metode audiovisual dan audiolingual dengan memutarkan cotoh percakapan perkenalan yang kontekstual melalui LCD (audiovisual) dan siswa diminta untuk praktik berpasangan (teknik kelompok) dengan menirunya berulang-ulang (audiolingual).

Kontribusi sosiolinguistik dalam pembelajaran bahasa dapat dilihat melalui aplikasi linguistik, yakni bagaimana sumbangan sosiolinguistik dalam menentukan bahan pembelajaran, silabus dan pelaksanaan pengajaran bahasa. Parera (1989:11-13) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap aplikasi linguistik berkaitan kontribusi linguistik dalam pengajaran bahasa sebagai berikut.

Tahap aplikasi pertama adalah tahap deskripsi linguistik. Tahapan ini memberi jawaban atas pertanyaan general tentang hakekat bahasa yang diajarkan. Secara tidak langsung bagan-bagan yang dijelaskan memberikan isyarat bahwa teori struktural dan sosiolinguisrik merupakan bagian dari lingusitik yang menyumbangakan teorinya dalam penyusunan bahan pengajaran bahasa. Aplikasi tahap pertama ini terlihat dalam bagan berikut.

 

pengujian

  

Umpan balik                                                                memberi

 

 

 

Tahap aplikasi kedua berhubungan dengan isi silabus. Kita tidak akan mengajarkan keseluruhan bahasa dalam pembelajaran, namun mengajarkan bahasa yang dibutuhkan oleh peserta didik kita. Dalam tahapan ini kita akan melakukan desain hasil untuk itu akan dilakukan pemilihan bahan. Kriteria pemilihan bahan pembelajaran bisa bermacam-macam pandangan Misalnya saja, manfaat bagi pembelajar, apa yang diperlukan pembelajar dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan bahasa yang akan dipelajarinya, perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa yang akan dipelajarinya, kesulitan apa yang dihadapi oleh pembelajar bahasa asing pada umumnya, variasi dialek perbandingan interlingual, dan perbedaan antara dua bahasa, seperti antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan bahasa Arab dan sebagainya (Richards, 2001: 51-89). Pemilihan bahan ini sangat erat sekali dengan aplikasi sosiolinguistik terutama jika bahan pembelajaran ingin menyiapkan bagi pembelajar bahasa Indonesia untuk pengguna bahasa asing, seluk-beluk variasi dialek, perbandingan interlingual dan perbandingan antara dua bahasa. Aplikasi tahapan kedua ini tergambar dalam bagan berikut.

 

diterapkan

 

 

Umpan balik                                                                memberi

 

 

 

 

Tahap aplikasi ketiga merupakan tahap kegiatan pembelajaran bahasa karena pada tahap kedua belum bisa membuat silabus yang lengkap dan utuh tentang bahasa, maka kaidah-kaidah penyusunan silabus ini harus memperhatikan faktor linguistik, psikolinguistik maupun sosiolinguistik sebagai bahan pengajaran (materi yang dimasukkan silabus) yang nanti juga menentukan alat, bahan dan sumber pembelajaran dan pendekatan proses (teknik presentasi) seperti pendekatan kontekstual, metode jigsaw, role playing, komunikatif, koordinatif dan lain sebagainya dalam belajar mengajar. Gambaran aplikasi ketiga bisa dilihat dalam bagan berikut.

 

 

diterapkan

 

 

 

 

 

 

  1. B.     Aplikasi sosiolinguistik dalam penggunaan variasi bahasa termasuk (pronomina persona) interferensi, dan etnografi komunikasi.

Parera (1986: 1) mengemukakan bahwa linguistik mengajarakan teori-teori penganalisisan dan pendeskripsian bahasa sebagai satu objek studi yang mengajarkan komponen-komponen kebahasaan dan teknik-teknik pendeskripsian bahasa. Dalam sosiolinguistik mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara aktual dalam komunikasi khususnya dalam pengajaran bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh Fishman (1967: 15; Chaer dan Agustina, 2010:48) bahwa sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa dalam aspek atau segi sosial tertentu dengan memperhatikan, “ who speak, what language, to whom, when, and to what end”.

Dalam pengajaran bahasa tentu harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana penyampaian konten, melakukan proses sosial dan berinteraksi dalam pembelajaran. Maka rumusan Fishman tersebut dirasa penting sebagai pedoman dalam berinteraksi, yakni mengetahui siapa yang sedang berbicara, siswa, atau sesama guru atau kepala sekolah, bahasa apa yang harus digunakan, untuk siapa bahasa tersebut digunakan karena bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi dengan siswa tentu akan berbeda ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah atau sesama guru. Ada pula pertimbangan lalu kapankah komunikasi berlangsung dalam situasi formal atau nonformal, sepeti ketika guru melaksanakan diskusi di dalam kelas, tentu akan berbeda ketika sedangan bercengkrama di ruang guru yang dilakukannya oleh sesama guru, dan tujuan dari interaksi yang dilakukan tersebut apa? misalnya tujuan untk memotivasi siswa tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menegur siswa yang melakukan kesalahan, maka disitulah aplikasi sosiolinguistik dalam interaksi pengajaran bahasa sangat penting untuk diterapkan.

Aplikasi berikutnya penggunaan pronomina persona kaitannya dengan variasi bahasa yang digunakan dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2003: 249) yang menjelaskan pronomina persona sebagai berikut.

Persona

Makna

Tunggal

Jamak

Netral

Eksklusif

Inklusif

Pertama Saya, aku, aku, ku-,-ku   Kami Kita
Kedua Engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu Kalian, kamu, sekalian, anda, sekalian    
Ketiga Ia, dia, beliau, -nya mereka    

 

Tabel  tersebut cukup jelas, namun bagi pembelajar bahasa Indonesia tahap pemula (BIPA) tanpa bantuan penjelasan sosiolinguistik mengenai kaidah sosial pengunaan pronomina persona tersebut pengguna bahasa akan kesulitan. Bagaimana kaidah sosial penggunaan kata ganti tersebut?  Kepada siapa? Kapan dan dimana kata ganti tersebut harus dipakai? Sosiolinguistik menjelaskan penggunaan pronomina tersebut dengan mengklasifikasikan variasi bahasa berdasarkan umur, pendidikan, tingkat keformalan, topik dan jalur pembicaraan dengan klasifikasi tersebut pengguna bahasa akan dengan mudah menggunakan masing-masing pronomina persona. Penelitian mengenai pronomina telah dilakukan oleh Feni Munifatulloh (2003), dalam tesis yang berjudul Pronomina dan acuan persona dalam Bahasa Indonesia di STKIP PGRI Jombang Kajian Sosiolinguistik. hasil penelitian tersebut masing-masing penggunaan pronomina dan acuan persona dipengaruhi oleh faktor usia dan hubungan antar penutur sebagai faktor paling kuat dalam penggunaan pronomina dan acuan persona, sedangkan faktor pendidikan mempengaruhi penggunaan pronomina dan acuan persona kedua saja. Penulis sering menemui penggunaan pronomina acuan persona tersebut kurang tepat, seperti penyebutan saya dalam konteks bicara dengan situasi santai, penggunaan kata kami dan kita yang kurang tepat dalam diskusi formal.

Interferensi merupakan kesalahan bahasa yang sering muncul dalam pengajaran bahasa baik terjadi dalam komunikasi lisan maupun komunikasi tulis. Penelitian mengenai interferensi telah dilakukan oleh Khusnul hafido dengan judul Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia Dalam Karya Tulis Kelas VIII Mts Negeri Keras Diwek Jombang. Hasil penelitian ini menyebutkan banyak kalimat-kalimat yang terinterferensi bahasa Jawa, seperti berikut.

Hari ini saya datang kesekolah pagi sendiri è hari ini saya datang ke sekolah paling pagi

Kata sendiri tersebut terinterferensi dari kalimat bahasa Jawa yang berbunyi dino iki aku teko ning sekolah isuk dheweinterferensi paling banyak ditemui oleh peneliti tersebut. Selain interferensi dalam komunikasi tulis penulis juga sering menemui interferensi dalam bentuk lisan seperti dalam pembuka presentasi seorang presentor mengucapkan “pada kesempatan ini saya akan memperkenalkan masing-masing anggota kelompok, yang kanan sendiri saya adalah Devi, ” kata sendiri tersebut merupakan interferensi dari bahasa Jawa sebagai berikut “dhewe”. Dengan, demikian interferensi merupakan salah satu penyimpangan bahasa yang sering dilakukan oleh para peserta didik kita. Hal ini dikarenakan bahasa pertama peserta didik adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Sehingga masalah ini sesuai dengan teori, bahwa interferensi terjadi pada dwibahasawan seperti yang terjadi dalam ulasan tersebut.

Pada etnografi komunikasi sosiolinguistik dibutuhkan untuk mengetahui dialek atau cara berbicara masyarakat kelas menengah kulit putih, kelas pekerja kulit putih, dan kelas pekerja kulit hitam yang memiliki perbedaan. Hal ini dikarenakan proses pengajaran verbalisasi dan literalisai yang telah dibiasakan oleh orang tua mereka. Melalui sosiolinguistik akan diketahui masing-masing dialek tersebut dan bagaimana menyikapi para peserta didik yang berasal dari kelas putih mupun dari kelas kulit hitam (Spolsky, 2008: 76). Menyikapi fenomena tersebut Dell hymes dalam teorinya mengenai etnografi komunikasi dapat diaplikasikan guru dalam interaksi belajar mengajar. Komponen tutur ini sangat berguna sebagai landasan dalam melaksanakan pengajaran bahasa Indonesia bagi pengguna bahasa asing (BIPA). Hal ini dikarenakan pembelajar BIPA terdiri atas bahasa, budaya, kebiasaan, dan sikap yang beraneka ragam. Dengan mengaplikasikan komponen tutur Dell Hymes tersebut maka pelaksanaan pembelajaran akan mencapai kompetensi yang diajarkan dengan menentukan pendekatan, metode, dan teknik yang tepat melalui analisis komponen tutur tersebut.

  1. C.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas kontribusi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa memiliki nilai praktis yang cukup signifikan terutama dalam memberikan informasi tentang hakekat bahasa dan pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan konteks kemasyarakatan, kondisi sosial pembelajar bahasa, mengenai apa yang diajarkan, pembuatan silabus, dan kegiatan pembelajaran bahasa, serta kontribusi sosiolinguistik dalam penentuan variasi bahasa dalam pengajaran, pronomina persona, penentuan kesalahan bahasa yang disebabkan interferensi dan penentuan metode yang tepat bagi BIPA melalui komponen tutur Dell Hymes. Oleh karena itu, tenaga pendidik, disarankan memahami kajian teori lingustik terutama ilmu-ilmu murni dan linguistik terapan khususnya sosiolinguistik mengingat bahwa bahasa tidak bisa lepas dari gejala dan fenomena sosial yang ada dalam hal pendidikan seperti tingkat sosial bahasa pada siswa yang beragam, lingkungan sekitar pembelajar, budaya pembelajaran dan pemerolehan bahasa siswa sebagai penyebab interferensi. Dengan demikian sosiolinguistik sebagai pondasi dari linguistik pendidikan tercermin melalui kajian aplikasi sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. Dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga .Jakarta: Balai Pustaka.

Bloomfield, Leonard. 1995. Language (Diindonesiakan oleh I. Sutikno). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Brown. Douglas. 2007: Prinsip Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa Edisi Kelima. Jakarta.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hafido, Khusnul. 2012. Interferensi Sintaksis Bahasa Jawa Terhadap Bahasa Indonesia Dalam Karya Tulis Kelas Viii Mts Negeri Keras Diwek Jombang. Perpustakaan STKIP PGRI Jombang. Tidak diterbitkan.

Kartomiharjo, Suseno, 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Bangsa. Jakarta: P2LPTK

Macalister, J.( 2010). Language Curriculum Design. New York: Roudledge.

Munifatulloh, Feni. 2003. Pronomina dan Acuan Persona dalam Bahasa Indonesia:: Kajian Sosiolinguistik. Perpustakaan STKIP PGRI JOMBANG tidak diterbitkan.

Paulstom, Christina Bratt and Tucker. G. Richard. 2003. Sosiolinguistics. Blackwell Publishing.

Parera, Jis Daniel. 1986. Linguistik Edukasional : Pendekatan Konsep dan Teori Pengajaran Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Richards, J.C.(2002). Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Spolsky, Bernard. 2010. Sosiolinguistics. New York: Oxford University Press.

Spolsky, Bernard. dan Francais M. Hult. (2008). The Hanbook Of Educational Linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.

Dipublikasi di Sosiolinguistik, Sosiolinguistik dan Pengajaran Bahasa | Meninggalkan komentar

ANALISIS KONTRASTIF LINGUISTIK PADA BAHASA MADURA DAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENDUKUNG PROSES PEMBELAJARAN BAHASA DI SD MANDURO

ANALISIS KONTRASTIF LINGUISTIK PADA BAHASA MADURA DAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENDUKUNG PROSES PEMBELAJARAN BAHASA DI SD DESA MANDURO

oleh

Diana Mayasari, S. Pd_12706251068

Abstrak

            Variasi bahasa yang digunakan peserta didik turut mempengaruhi proses pembelajaran bahasa. Guru sebagai pendamping proses tersebut dituntut untuk mengetahui dan memiliki wawasan berbagai bahasa yang dikuasai peserta didik sehingga guru akan lebih mudah dalam menentukan kecakapan bahasa dan menentukan langkah-langkah dalam proses pembelajaran. Bahasa Madura yang digunakan peserta didik di kelas permulaan belum banyak diketahui oleh guru di SD Manduro yang tidak berdomisili di desa Manduro. Dengan demikian, analisis struktur bahasa Madura yang digunakan masyarakat tutur bahasa tersebut penting untuk dikaji lebih jauh agar dapat diterapkan dalam analisis kontrastif linguistik sebagai pendukung pembelajaran bahasa Indonesia di SD tersebut.

Kata kunci: variasi bahasa, proses pembelajaran, struktur bahasa, analisis kontrastif linguistik

  1. A.    PENDAHULUAN

Bahasa sebagai sarana komunikasi manusia mempunyai variasi sesuai kelompok penuturnya (Chaer dan Agustina, 2010: 36) seperti variasi bahasa Madura yang digunakan masyarakat tutur desa Manduro kecamatan Kabuh kabupaten Jombang sebagai berikut. Gik ndang jekeh len arek (dalam bahasa Indonesia: ayo cepat bangun sudah siang). Kalimat perintah tersebut terasa asing di telinga kita. Hal tersebut berbeda bagi masyarakat tutur desa Manduro. Mereka telah terbiasa menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Keberadaan kelompok tersebut menunjukkan keragaman corak kehidupan di Indonesia yang ditunjukkan juga dengan berbagai agama, status sosial, pendidikan, dan berbagai suku bangsa. Ciri khas antara kelompok satu dengan kelompok lainnya ditandai dengan penggunaan variasi bahasa penuturnya dalam berinteraksi (Kartomiharjo, 1988: 4). Holmes (1992: 80) membagi variasi bahasa berdasarkan status dan fungsi sosial yang terdiri dari bahasa vernacular dan bahasa standar. Variasi bahasa tersebut juga terjadi dalam pembelajaran bahasa (Suhardi, 2012:24).

Bahasa terletak sebagai jantung dalam proses pembelajaran. Baik bagi siswa maupun guru, bahasa merupakan sarana yang mampu digunakan untuk menjelaskan isi pelajaran, proses sosialisasi di kelas dan sebagai sarana partisipasi dalam melaksanakan tugas pembelajaran dengan terstruktur dan teratur. Dalam proses pembelajaran seringkali banyak hal-hal ideal yang penting untuk dipelajari dan kuasai oleh peserta didik ternyata hilang begitu saja (Permendiknas, 2013: 22). Hilang karena tidak tersampaikan dengan baik dan tidak dipelajari melalui proses pembelajaran yang tepat. Penulis berasumsi bahwa salah satu penyebab hal tersebut adalah adanya bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran kurang dipahami oleh peserta didik atau dimungkinkan guru kurang memiliki pengetahuan tentang variasi bahasa yang dimiliki peserta didik.

Bahasa yang digunakan peserta didik di SD Manduro tidak lepas dari pengaruh bahasa yang digunakan oleh orang tua yakni bahasa Madura dan bahasa Jawa dengan kosa kata yang digunakan berbeda dengan masyarakat Madura dan Bahasa Jawa oleh etnis Jawa. Pernyataan tersebut senada dengan penemuan Dewa (2013: 233-234) yang mengemukakan bahwa bahasa Madura yang digunakan masyarakat desa Manduro memiliki kosa kata yang berbeda dengan orang Madura dan Jawa. Bahasa Jawa digunakan ketika berkomunikasi dengan orang luar desa Manduro. Namun bahasa yang dominan digunakan dalam komunikasi dengan keluarga dan masyarakat desa Manduro adalah bahasa Madura. Kondisi tersebut menjadikan anak-anak memperoleh dua bahasa sekaligus sebagai bahasa pertama.

Terkait dengan pernyataan di atas hasil wawancara penulis dengan guru di SD Manduro tempat anak-anak desa Manduro memperoleh pendidikan dasar menjelaskan bahwa ketika guru menggunakan bahasa Indonesia dalam pembelajaran siswa kurang memiliki antusias namun ketika guru menggunakan bahasa Madura siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik (Fatimah, 25thn guru SD Manduro). Hal ini merupakan salah satu kendala yang harus diantisipasi oleh guru di SD tersebut. Selain itu, Spolsky (2008: 607) mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan oleh guru dalam kelas yang memiliki bahasa heterogen dapat menghambat proses pembelajaran namun bisa juga sebaliknya. Tupan (2008) dalam tulisannya menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa harus melihat dimana bahasa tersebut diajarkan dan bahasa apa yang telah dikuasai peserta didik sehingga guru tidak memberikan efek frustasi bagi pembelajar. Dengan demikian, guru harus memiliki wacana yang cukup mengenai bahasa yang telah dikuasai peserta didik agar guru mampu melibatkan bahasa sebagai pendukung proses pembelajaran.

Pengetahuan tentang bahasa pertama peserta didik merupakan langkah awal guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga guru dapat mengetahui berbagai variasi bahasa yang dimiliki siswa dan dapat mengarahkan penggunaannya dalam proses pembelajaran (Kridalaksana, 1985: 100-102). Berdasarkan alasan tersebut guru akan lebih mudah menyampaikan isi pelajaran dan melaksanakan interaksi sosial di dalam kelas.

Kontak bahasa antara bahasa pertama peserta didik dengan bahasa Indonesia dalam pembelajaran bahasa tidak dapat dihindarkan. Hal ini memungkinkan terjadinya transfer bahasa yang bersifat positif dan negatif seperti interferensi bahasa pertama pada bahasa kedua (Lado, dalam Pica, 2005:263). Hamid (2011) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa bahasa pertama peserta didik memungkinkan terjadinya interferensi berupa transfer negatif pada keterampilan menulis dan berbicara. Berdasarkan kedua penelitian tersebut bahasa pertama penting untuk ditelaah lebih jauh agar guru dapat meminimalisir transfer negatif bahasa pertama terhadap bahasa kedua (bahasa Indonesia) pada keterampilan berbahasa.

Terkait dengan fenomena tersebut kurikulum 2013 menyebutkan bahwa proses pembelajaran merupakan inti dari pendidikan. Oleh karena itu, guru harus mampu mengaplikasikan bahasa sebagai sarana utama dalam pembelajaran untuk mewujudkan konsep pembelajaran kurikulum 2013 yang mengedepankan taksonomi pada butir Permendikbud no 20 tahun 2003 dalam bentuk rumusan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang tertuang dalam keterampilan mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji dan mencoba (Permendikbud no 65 tahun 2013). Dengan adanya masing-masing rumusan tersebut bahasa merupakan salah satu komponen yang penting sebagai sarana terlaksananya konsep pembelajaran kurikulum 2013.

Berbagai alasan tersebut memberikan ide bagi penulis untuk menelaah struktur bahasa Madura yang digunakan oleh masyarakat tutur desa Manduro agar dapat diterapkan menjadi salah satu sumbangsih linguistik terhadap problematika pengajaran bahasa yakni analisis kontrastif linguistik bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Pemikiran ini dilatarabelakangi oleh temuan Lado (1957; Pica dalam Hinkel, 2005: 264) yang menyebutkan bahwa pendekatan yang disebutnya sebagai analsis kontrastif dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama dengan cara drill dan memeriksa apa yang terdapat pada bahasa kedua dari bahasa petama.

Analisis kontrastif bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dilakukan oleh Suhardi (2012) dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa permulaan yang dilandasi oleh hasil analisis kontrastif linguistik merupakan bagian integral linguistik pendidikan. Linguistik pendidikan merupakan integrasi yang resiprokal antara dunia linguistik dan dunia pendidikan, terutama dalam idang pengajran, pembelajaran, dan perencanaan bahasa. Berdasarkan dua temuan tersebut, analisis kontrastif linguistik dapat digunakan sebagai pendukung dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa.

Analisis kontrastif linguistik merupakan salah satu bagian dari linguistik deskriptif yang melihat corak bahasa dari komponen fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik (Kridalaksana, 2007). Analisis kontrastif linguistik bahasa Madura dan bahasa Indonesia ini dapat dijadikan sebagai peta jawaban atas minimnya pengetahuan guru bahasa di SD Manduro yang berasal dari luar desa Manduro mengenai bahasa pertama peserta didik, merupakan salah satu acuan dalam penguasaan keterampilan bahasa peserta didik khususnya keterampilan bahasa yang produktif dan dapat dijadikan perbaikan interaksi antara guru dengan peserta didik sehingga konsep pembelajaran kurikulum 2013 akan terwujud.

B. Kajian Struktur Bahasa

Bahasa adalah sebuah sistem yang bersifat sistematis dan sistemis. Bersifat sistematis artinya tersusun dengan suatu pola tertentu sedangkan sistemis artinya bahasa tersebut tidak berdiri sendiri atau tunggal melainkan terdapat subsistem yang berada di bawahnya yakni subsistem fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik yang dikenal dengan istilah srtuktur bahasa (Chaer, 2007: 36).

Parera (2009: 6) mengemukakan bahwa stuktur bahasa merupakan unsur-unsur yang membentuk satuan bahasa terdiri dari fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, hingga wacana. Hubungan antara struktur bahasa dengan proses pembelajaran dijelaskan sebagai berikut. Ahli bahasa terdahulu menyebutkan  bahwa bahasa adalah sesuatu yang stabil, netral, berada pada tingkatan sistem yang berurutan secara natural yang dijabarkan pada tingkatan karakter sintaktik, fonologi, morfologi dan pragmatik dimana bahasa merupakan bagian dari psikokognitif yang dimiliki tiap individu (Johnson, 2009: 42). Penulis menyimpulkan bahwa struktur bahasa terdiri dari subsistem-subsistem fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik yang juga terkait dengan karakteristik bahasa masing-masing individu (peserta didik) dalam proses pembelajaran.

  1. a.         Fonologi

Objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk ujar. Verhaar (2006: 9) menyatakan bahwa fonologi merupakan cabang dari linguistik yang menelaah struktur-struktur dasar bunyi bahasa, seperti dalam fonologi yang dikenal bunyi vokoid dan kontoid. Vokoid maupun kontoid ada yang diucapkan secara rangkap. Perangkapan bunyi ini ditandai dengan satuan hembusan udara ketika bunyi itu diucapkan. Perangkapan bunyi kontoid disebut kluster sedangkan bunyi vokoid disebut diftong.

a)      Diftong

Muslich (2008: 69) mengemukakan bahwa ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan sonoritas. Salah satu bunyi vokoid itu lebih tinggi dari pada bunyi vokoid yang lainnya. Peristiwa meningggi dan menurunnnya sonoritas inilah yang disebut diftong. Dalam praktiknya bunyi diftong terdiri dari dua macam yakni diftong naik dan diftong turun (Muslich, 2008: 69).

b)     Kluster

Kluster dalam bahasa Indonesia terjadi sebagai akibat pengaruh struktur fonetis unsur serapan, sedangkan kosakata asli bahasa Indonesia  tidak  mempunyai kluster (Muslich, 2008: 72).

  1. b.      Morfologi

1)      Proses Morfologis

a)      Macam-macam proses morfologis

Muslich (2010: 35) mengemukakan bahwa peristiwa pembentukan kata dalam bahasa Indonesia terdiri dari:

1)      Proses pembubuhan (afiksasi)

  1. Perubahan fonem akibat proses pembubuhan afiks

Dalam bahasa Indonesia peristiwa bergabunnya morfem satu dengan yang lainnya untuk membentuk suatu kata sering diikuti dengan perubahan-perubahan fonem. Perubahan itu bisa berupa perubahan fonem ke fonem lain, penambahan fonem, dan penghilangan fonem.

2)      Proses perulangan (reduplikasi)

Proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak (Muslich. 2010: 48-49).

  1. Jenis pengulangan
    1. Pengulangan seluruh
    2. Pengulangan sebagian
    3. Pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks

Pengulangan ini merupakan pengulangan bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama atau serentak dan bersama-sama pula mendukung satu arti. Perhatikan contoh berikut.

Bentuk dasar + pengulangan dan pembubuhan afiks = hasil pengulangan
Rumah + (pengulangan)-an       = rumah-rumahan

Lincah + se(pengulangan)-nya  = selincah-lincahnya

Kuning + ke(pengulangan)-nya = kekuning-kuningan

  1. Pengulangan dengan perubahan fonem

Pengulangan jenis ini sudah tidak produktif lagi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan hasil perbandingan, masih dapat dibuktikan bahwa pengulangan jenis ini memang ada dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata ulang gerak-gerik. Telah diketahui bahwa kata ulang itu berbentuk dasar gerak setelah dibandingkan dengan  bentuk-bentuk, misalnya menggerakkan, digerakkan, penggerakan, bergerak dan pergerakan. Di samping berbentuk dasarnya diulang, yaitu gerak, pengulangannya menjadi gerik.

3)      Proses pemajemukan (komposisi)

Proses pemajemukan atau komposisi adalah peristiwa bergabungnya dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru (Muslich, 2010: 57).

  1. Jenis pemajemukan dalam bahasa Indonesia

Apabila dilihat dari hubungan unsur-unsur yang mendukungnya Muslich (2010: 62-64) membagi bentuk majemuk menjadi tiga jenis, yaitu:

a)      Bentuk majemuk yang unsur pertama diterangkan (D) oleh unsur kedua (M);

b)      Bentuk majemuk yang unsur pertama menerangkan (M) unsur kedua (D);

c)      Bentuk majemuk yang unsur-unsurnya tidak saling menerangkan, tetapi hanya merupakan rangkaian yang sejajar (kopulatif).

  1. c.       Sintaksis

Verhaar (2006: 11) menyatakan bahwa sintaksis merupakan cabang linguistik yang menyangkut susunan kata-kata di dalam kalimat. Selain itu Chaer (2009: 3) mengungkapkan bahwa sintaksis adalah subsistem yang membicarakan penataan dan pengaturan kata-kata ke dalam satuan yang lebih besar yakni kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Jadi, penulis menyimpulkan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan penataan kata-kata kedalam satuan-satuan yang lebih besar salah satunya adalah pembentukan kalimat. Pembentukan kalimat secara gramatikal dapat dianalisis melalui fungsi, kategori dan peran sintaktis.

1)      FUNGSI, KATEGORI, DAN PERAN SINTAKTIS

a)   Fungsi sintaktis

Fungsi-fungsi sintaktis mencakup subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan yang harus diisi kategori tertentu. Fungsi sintaktis tidak memiliki makna tertentu tetapi harus diisi makna tertentu, yakni peran. Fungsi adalah tempat kosong  yang harus diisi oleh dua pengisi, yakni kategori dan peran (Verhaar, 1982: 72) dalam Oka dan Suparno (1996: 215). Kridalaksana (2002 dalam Chaer, 2009: 21-27) mengemukakan ketentuan fungsi-fungsi sintaktis sebagai berikut.

(1)  Subjek selalu mendahului predikat.

(2)  Secara morfologis predikat sering ditandai prefiks me-, prefiks di-, dan prefiks ber-.

(3)  Objek ditentukan oleh verba, jika verba bersifat transitif maka objek itu akan muncul, tetapi kalau verba bersifat tak transitif maka objek itu tidak ada.

(4)  Objek harus dapat dijadikan Subjek dalam kalimat pasif.

(5)  Komplemen atau pelengkap keberadaanya ditentukan oleh adanya keharusan untuk melengkapi predikat.

(6)  Keterangan di dalam kalimat lebih fleksibel.

b)   Kategori sintaktis

Kategori sintaksis adalah jenis atau tipe kata atau frase yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaktis. Kategori sintaksis berkenaan dengan istilah nomina (N), verba (V), ajektifa (A), adverbia (Adv), numeralia (Num), preposisi (Prep), konjungsi (Konj), dan pronomina (Pron). Hal ini N,V, dan A merupakan kategori utama sedangkan yang lain merupakan kategori tambahan (Chaer, 2009: 27). Verhaar (2006: 170) mengungkapkan kategori sintaktis adalah apa yang disebut kelas kata seperti nomina, verba, adjektiva, adverbia, adposisi (artinya preposisi atau posposisi) dan lain sebagainya. Jadi, penulis menyimpulkan kategori sintaktis adalah jenis kata pengisi fungsi-fungsi sintaktis yang terdiri dari nomina, verba, ajektifa, adverbia, numeralia, frasa nominal, frasa adjektifal,dan frasa adverbial.

c)    Peran sintaktis

Chaer (2009: 29) dan para pakar semantik generatif berpendapat bahwa verba atau kata kerja yang mengisi fungsi P (predikat) merupakan pusat semantik dari sebuah klausa. Fungsi predikat sebagai salah satu fungsi sintaktis berperan sebagai pusat makna. Pendapat tersebut diperkuat oleh Verhaar (Oka dan Suparno, 1996: 215) fungsi-fungsi sintaktis tidak memiliki makna tertentu, tetapi harus diisi makna tertentu, yakni peran. Jadi, dapat disimpulkan oleh peneliti peran sintaktis adalah pengisi fungsi-fungsi (subjek, predikat, objek, keterangan dan pelengkap) yang terdapat dalam sebuah kalimat sehingga fungsi tersebut memiliki arti. Verhaar (1992: 90) membagi peran sintaktis sebagai berikut.

Nama ekstralingual

Nama lingual (semantis)

tindakan (action) Aktif (active)
Pengalaman (passion*) Pasif (passive)
tindakan refleksif (reflexive action*) Medial (medium; middle)
Keadaan (state) Statif (stative)
Hubungan (copula) Kopulatif (copulative)
peradaan* (existence) ekssintensial (existential)
Keberlangsungan (progession*) Progresif (progressive)
Milik (possession) Posesif (possessive)
Pelaku (agent) Agentif (agentive)
Tujuan (goal) obyektif * (objective)
Penerima (beneficiary) Benefaktif (benefactive)
Alat (instrumen) instrumental (instrumental)
Tempat (place) Lokatif (lokative)
Waktu (time) Temporal (temporal)
Sebab (cause) Kausatif (causatif)

Terkait dengan pendapat tersebut Chaer (2009: 29-33) menyatakan peran-peran yang dimiliki oleh pengisi fungsi predikat (berikutnya ditulis dengan P), subjek (berikutnya ditulis dengan S), objek (berikutnya ditulis dengan O) dan Keterangan (berikutnya ditulis dengan kata Ket.) dalam bahasa Indonesia selain peran tindakan  juga terdapat peran-peran berikut.

(1) Peran pengisi P, terdiri dari peran proses, peran kejadian, peran keadaan, peran pemilikan, peran identitas, peran kuantitas,

(2) Peran-peran pengisi fungsi S atau O terdiri dari peran pelaku, peran sasaran,  peran hasil, peran penanggap, peran pengguna, peran penyerta, peran sumber, peran jangkauan, peran ukuran.

(3) Peran-peran yang ada pada fungsi keterangan terdiri dari peran alat, peran tempat, peran waktu, peran asal, peran kemungkinan atau keharusan.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa peran sintaktis yang disampaikan Verhaar mempunyai perbedaan dengan peran sintaktis yang disampaikan oleh Chaer. Verhaar lebih mengutamakan peran sintaktis sebagai sesuatu yang semantis sedangkan Chaer menguraikan peran sintaktis dengan mengutamakan makna pengisi fungsi sintaktis berdasarkan masing-masing fungsi sintaktis kalimat tanpa membedakan ekstralingual ataupun melihat peran sintaktis dari segi sesuatu yang semantis. Persamaan dari kedua pendapat tersebut adalah sama-sama menguraikan peran sintaktis kalimat.

  1. C.    Sumbangan Linguistik terhadap Pengajaran Bahasa

Linguistik memiliki peran yang besar dalam pengajaran bahasa. Hodge dalam tulisannya “ the influence of linguistics to language teaching” (Muslich, 2009: 167) mengemukakan linguistik membantu pengajaran bahasa dalam hal:

  1. menentukan corak bahasa yang diajarkan;

Sumbangan yang pertama ini mengacu pada kebutuhan pembelajar akan bahasa yang akan mereka pelajari dan tujuan pengajaran bahasa. Terkait dengan hal tersebut hendaknya diperhatikan berbagai versi ujar yang ada dalam bahasa tersebut. Bahasa yang akan diajarkan adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan termasuk dalam muatan pelajaran dalam kurikulum pembelajaran. Dengan demikian, pendidik juga harus memiliki pengetahuan berbagai versi ujar yang dimiliki peserta didik dalam menggunakan bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa madura sebagai bahasa pertama mereka.

  1. memberi pedoman tentang materi bahasa yang sebaiknya diajarkan;

pendapat ini terkait dengan penentuan konten dalam pengembangan kurikulum bahasa yang terdapat pada analisis kebutuhan (Machalister, 2010: 26). Dalam hal ini berbagai jenis  wacana yang terkait dengan sosiolinguistik (variasi bahasa, karakter peserta didik) berperan besar, yakni menentukan wacana yang sesuai dengan kondisi sosiokultural peserta didik. Dengan demikian, linguistik membantu perencana  pembelajar dalam menentukan bahan pembelajaran bahasa yang sesuai.

  1. memberi pedoman tentang cara-cara penganalisisan materi bahasa yang diajarkan.

Metode konstranstif  linguistik merupakan metode pembelajaran yang menjadi sumbangsih linguistik bagi pengajaran bahasa dengan mempertentangkan bahasa yang diajarkan dengan bahasa yang telah dikuasai terlebih dahulu.

  1. D.    Analisis Kontrastif Linguistik dalam Pembelajaran Bahasa

Mengapa analisis kontrastif linguistik? Analisis kontrastif merupakan salah satu materi linguistik yang memiliki kaitan dan diaplikasikan dalam pendidikan khususnya pengajaran dan pembelajaran bahasa (Suhardi, 2012: 16). Sebagai bagian dari linguistik deskriptif analisis kontrastif linguistik berusaha melihat bahasa dari komponen fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Analisis tersebut dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa, khususnya untuk pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing (Parera, 1998). Proses pembelajaran bahasa Indonesia yang diselenggarakan di SD Manduro merupakan pembelajaran bahasa kedua. Dengan demikian, analisis kontrastif lingguistik ini dapat diaplikasikan dalam pembelajaran tersebut.

Dua konsep penting yang harus diperhatikan dalam analisis kontrastif linguistik yakni interferensi dan transfer. Interferensi diartikan sebagai pengaruh perilaku lama terhadap perilaku yang sedang dipelajari pada interaksi berbahasa seperti pinjaman linguisik dan alih kode (interferensi leksikal). Sedangkan transfer menurut psikolog tingkah laku, merujuk pada proses penggunaan pengalaman silam secara otomatis tidak terkendali dan di bawah sadar. Subyakto dan Nababan mengemukakan kontras-kontras dan kemiripan yang perlu dipahami ada enam komponen yakni kontras-kontras dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, leksikologi, ortografi dan  bidang budaya (Suhardi, 2012: 17).

Kesimpulan

Proses pembelajaran tidak lepas dari variasi bahasa peserta didik. Guru sebagai pendidik dituntut untuk memiliki pengetahuan variasi bahasa tersebut. Analisis kontrastif linguistik merupakan sumbangsih linguistik yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung dalam pembelajaran bahasa yakni dari Hasil analisis Corak fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa Madura dan Indonesia yang diasumsikan terdapat kesamaan dan perbedaan. Dengan demikian, adanya analisis kontrastif linguistik akan mempermudah proses pembelajaran, mengarahkan pada transfer bahasa pertama secara positif, dan meminimalisir interferensi pada keterampilan bahasa peserta didik yang bersifat produktif.

Daftar Pustaka

Bernard, Spolsky dan Francais M. Hult. (2008). The Hanbook Of Educational Linguistics. United kingdom: Blackwell Publishing.

Chaer, A. (2009). Sintaksis Bahasa Indonesia Pendekatan Proses.Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Chaer, A dan Leonie, A. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamid. 2011. Interferensi pada Keterampilan Berbicara dan Menulis di SMP N 2 Jember. Skripsi Universitas Jember tidak dipublikasikan.

Hinkel, E. 2005. Handbook of Research in Second Language Teaching and Learning. London: Lawrence Erlbaum Associates.

Holmes, J. 1995 An introduction to sosiolinguistik. New york: Longman Publishing.

Kartomiharjo, Suseno, 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Bangsa. Jakarta: P2LPTK

Kridalaksana, H. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah.

Macalister, J.( 2010). Language Curriculum Design. New York: Roudledge.

Muslich, M. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia. Malang: Bumi Aksara.

………………. (2010). Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskripstif.Jakarta: BumiAksara.

………………. (2010). Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi (Kedudukan, Fungsi, Pembinaan dan Pengembangan).Jakarta: BumiAksara.

Oka, I.G.N. & Suparno.(1996). Linguistik Umum. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Parera, Jis Daniel. 1998. Linguistik Edukational : Metode Pembelajaran Bahasa, Analisis Kontrastif Antar-Bahasa, Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Erlangga.

Parera, Jis Daniel. 2009. Dasar-Dasar Analisis Sintaksis. Jakarta: Erlangga.

Permadi, A.D. (2013). Deskripsi Konstruksi Sosial dalam Membentuk Identutas Simbolik Oreng Manduro. (Jurnal: UnairantroUnairDotNet, vol 2/no. 1/ Jan-Pebruari 2013 (232-247))

Tupan, H.A. 2008. Aneka Permasalahan Dalam Pengajaran Bahasa. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Permendiknas No 65 tahun 2013 tentang Standar Proses pembelajaran.

Suhardi. 2012. Analisis Kontrastif dalam Perspektif Linguistik Pendidikan pada Pembelajaran Bahasa Indonesia. Disampaikan pada pidato pengukuhan guru besar: Universitas Negeri Yogyakarta.

Verhaar, J.W.M. (1992). Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

———-, J.W.M. (dalam kerjasama dengan Fr. B. Alip dkk.). (2006). Asas-asas linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Unsiversity Press.

Dipublikasi di analisis kontrastif, fonologi, morfologi, sintaksis, Struktur Bahasa | Meninggalkan komentar